Desember 11, 2015

[VARIETY SHOW] Kocaknya Bintang 'SNL Korea' Parodikan TaeTiSeo


Program 'SNL Korea' kembali membuat parodi yang siap mengocok perut para pemirsa.
Menjelang penayangan episode terbaru 'SNL Korea', baru-baru ini tim produksi memberikan bocoran parodi terbaru mereka.
Dalam foto yang mereka upload, tiga anggota yang terdiri dari Kim Jung Hyun, Jung Sang Hoon, dan Lee Hae Woo terlihat sedang menggunakan kostum yang mirip dengan TaeTiSeo untuk album 'Dear Santa'.
Pada foto pertama, ketiganya terlihat menggunakan blazer dan hotpants, dengan rambut kuncir dua. Bahkan salah satu anggota terlihat menggunakan wig pirang, yang mirip dengan rambut Taeyeon.
Sedangkan pada foto lainnya, ketiga anggota menggunakan gaun serba putih, menunjukkan sisi anggun layaknya anggota TaeTiSeo.
Kalian baru akan bisa menyaksikan parodi kocak mereka di episode 'SNL Korea' mendatang.

sc: kpopchart

[NEWS] EXO-L Berang, Bintang 'Star Wars' Ini Dianggap Ejek EXO


Seorang bintang film 'Star Wars' mendapatkan kecaman dari penggemar EXO.
Beberapa waktu yang lalu, EXO sempat hadir dalam jumpa fans film 'Star Wars' di Korea.
Dalam ajang jumpa fans tersebut, empat bintang film 'Star Wars' hadir secara langsung untuk bertemu bersama penggemar mereka di Korea. Sebagai ambassador, anggota EXO juga mendapatkan kesempatan untuk hadir dalam acara ini.
Usai jumpa fans melalui akun Twitter pribadinya, salah satu pemeran, John Boyega menuliskan, "Tuhan. Aku berpikir untuk mengikuti audisi untuk masuk EXO jadi aku bisa bergabung dengan mereka dan menetap di Seoul."
Tak lama kemudian, ia kembali menuliskan, "Sebenarnya aku hanya akan meninggalkan EXO karena mereka tidak membutuhkanku yang hanya bisa bergulingan sedangkan mereka meluncur bersama teriakan penggemar hardcore mereka."
Tulisan tersebut rupanya dianggap sebagai ejekan oleh penggemar EXO di Korea. Seperti komentar mereka di situs Pann,
"Kalau kalian menonton video EXO saat mengatakan halo, kalian bisa lihat tidak ada yang menyambut mereka karena di sana tidak ada EXO-L,"
"Aku benar-benar tidak mengerti mengapa EXO harus diperlakukan seperti ini,"
"Mulanya mereka menyerang EXO dengan mengkritik mereka. Penggemar EXO saat ini benar-benar kesal. Para aktor dan penggemar mereka benar-benar tidak bijak,"
"Apa yang paling mengesalkan ialah tweet tersebut dibuat oleh aktor Star Wars, jadi semua penggemar Star Wars di seluruh dunia akan menjadi hater EXO,"
"Mereka seharusnya berterimakasih kepada EXO karena sudah mempromosikan 'Star Wars'," komentar penggemar lain.
Bagaimana pendapat kalian soal hal ini?


sc: kpopcart

Desember 10, 2015

[NEWS] Bukan Kim So Eun, Song Jae Rim Jadi Model Baru Yanadoo Bareng Yoon So Hee


Popularitas Song Jae Rim memang melejit sejak dirinya tampil di "We Got Married" bersama Kim So Eun. Saking serasinya, publik sampai berharap keduanya pacaran betulan.
Baru-baru ini, Jae Rim didapuk menjadi bintang iklan baru Yanadoo. Bukan dengan So Eun, aktor 30 tahun itu dipasangkan dengan aktris satu agensinya, Yoon So Hee.


"Song Jae Rim dan Yoon So Hee telah terpilih sebagai model brand komunikasi dasar Bahasa Inggris Yanadoo," kata perwakilan SM C&C, agensi yang menaungi mereka. Sebagai mahasiswi KAIST yang merupakan salah satu universitas paling prestisius di Korea, Yoon So Hee memang dikenal cerdas.
"Keduanya dipilih karena mempunyai image cerdas," kata perwakilan Yanadoo. "Mereka cocok dengan imagej Yanadoo yang menargetkan karyawan dan orang dewasa usia 20 dan 30 tahunan."
Jae Rim dan So Hee telah melakukan pemotretan pertama untuk Yanadoo. Keduanya mengaku sulit untuk belajar Bahasa Inggris di tengah kesibukan sebagai selebriti, namun mereka senang mempelajarinya saat masih sekolah dulu.

sc: wowkeren

[FICTION] Because Of You #5


Cast :

  • Alexa Anastasia Robins
  • Adam Miller
  • Sofia Anastasi Robins as Alexa's daughter
  • Cecilia Gratton as Alexa's bestfriend
  • Mikael Holowitz as Cecil's friend
  • Anastasia Kyle as Alexa's mother
  • etc

Genre : Romance, Family
Categories : Adult
Rate : +17
Shoot : One

before chapter...
Aku butuh seseorang yang menenangkanku, menyemangati, mendorongku untuk bangkit dan mengembalikan kewarasanku. Di satu sisi aku harus mendorong keluar ingatan yang membuatku menggila.


BAB 5

Aku membuka lemari pakaian Sofia, mencari sebuah kaus, celana panjang, kaus kaki, jaket bulu tebal, topi rajut, dan sepasang sepatu boots berwarna pink yang sangat lucu. Di ranjang ibu sedang menghanduki tubuh Sofia yang basah setelah acara mandi pagi yang menyenangkan. Sofia tertawa-tawa riang saat ibu menggodanya dengan memakai topi Sofia yang terlalu kecil untuk ukuran kepalanya sembari bernyanyi riang. Aku tersenyum melihat tingkah konyol ibu yang hanya ia tunjukkan di hadapan cucu dan anak-anaknya. Ibu selalu bisa membuat Sofia tertawa lebar, bahkan saat aku tak bisa melakukannya.

Aku menghampiri mereka dan meletakkan baju Sofia. Ibu duduk di sebelahku dan mulai membedaki tubuh Sofia.
  “Kau akan pergi kemana hari ini, sayang?,” tanya ibuku sembari memakaikan pakaian dalam Sofia. Sementara tanganku sibuk membantunya.
  “Central park, mom. Sofia butuh menghirup udara segar di pagi hari, tidak hanya udara pengap di rumah ini.” Ibuku mengerutkan keningnya mendengar ucapanku, membuatku tersenyum jahil. “Aku bercanda mom.”
  “Kau yakin ingin pergi berdua saja? Haruskah kubatalakan rencanaku hari ini?”
  “Tidak perlu mom, semalam Cecil menelepon. Ia akan bergabung dengan kami. Dia juga sedang butuh hiburan.”
  “Baguslah kalau begitu, dua orang gadis merana tanpa pria bergabung menjadi satu untuk menikmati udara di Central park. Aku yakin itu akan menjadi pemandangan yang luar biasa bagi pria lajang yang melihat kalian,” goda ibuku.
Aku yakin ia sedang membalas candaanku tadi. Aku memutar mataku
  “Mom, aku bukan gadis lagi. Lagipula pria lajang mana yang akan tertarik dengan wanita yang memiliki putri berumur 1 tahun, di saat ia juga tak cantik? Kau bermimpi mom.” Aku memakaikan topi rajut buatan ibu ke Sofia. Kemudian meraih tubuh mungilnya dari tangan ibu.
  “Jangan berkata seperti itu sayang, kau cantik, baik, dan mandiri. Jika ada pria yang tidak menyukaimu berarti mereka bodoh. Lagipula kau tidak tahu apa yang akan terjadi padamu nantinya. Jangn mendahului takdir, oke?” Aku hanya mengangguk sekenanya. Aku tidak mau lagi berdebat dengan ibu tentang masalah ini.

Aku berdiri sembari menggendong Sofia. Kuraih tas jinjing yang telah disipakan ibu sebelumnya. Bisa kutebak isi di dalamnya tak lain keperluan Sofia seperti baju ganti, popok, susu, camilan dan sebagainya. Ibuku selalu teliti jika menyangkut keperluan Sofia.
  “Mari pergi.”

Kami keluar dari rumah bersama ibu di sampingku. Ia tak lepas menggoda Sofia bahkan hingga Cecil menghentikan mobilnya di depan pintu gerbang.
  “Common ladies, Central park sudah menunggu kita,” teriak Cecil dari dalam mobilnya. Hari ini ia terlihat cantik mengenakan navy blue swaeter, skinny jeans berwarna hitam dan ankle boot 3 cm yang sayangnya belum dapat membuatnya menyeimbangi tinggi badanku meski aku hanya mengenakan flat shoes. Dengan sigap Cecil membuka pintu penumpang depan dari dalam dan menerima tas jinjingku. Ia meletakkan tas itu di kursi penumpang belakang.
  “Kau yakin tidak ada yang ketinggalan sayang?,” tanya ibuku sembari mengelus pipi Sofia.
  “Kami hanya ke Central park mom, jadi tidak akan membutuhkan banyak barang. Kami pergi dulu.” Aku tersenyum menenangkannya. Ibu selalu khawatir jika aku pergi keluar membawa Sofia tanpanya. Saat seperti ini aku merasa ibu Sofia bukanlah aku, tapi ibuku sendiri. “Sofia, ucapkan selamat tinggal pada nenek.”

Sofia tersenyum lebar saat aku mengangkat tangan kanannya untuk melambai pada ibuku.
  “Nenek… Nenek…,” ucapnya lucu. Ibu tertawa melihatnya.
  “Sampai jumpa malaikat kecil, selamat bersenang-senang.” Aku beranjak memasuki mobil Cecil. “Ingat jangan memberi sembarang makanan pada Sofia, Alexa.”
  “Ya mom, aku ingat itu.” Kami melambai pada ibu saat Cecil menyalakan mobilnya.
  “Sampai jumpa, An,” teriak Cecil saat mobil mulai melaju meninggalkan area rumahku. “Ini seperti adegan dalam film. Seorang ibu mengantar putri dan cucunya yang akan pergi jauh menyeberangi samudera.” Cecil tertawa terbahak-bahak. Kubungkam tawanya itu dengan sebuah pukulan keras di lengannya hingga ia meringis kesakitan.
  “Itu tidak lucu, Cecil.”
  “Oh baiklah, aku akan pura-pura melupakannya.” Kami tersenyum bersama.

Setengah jam kemudian kami sudah ada di area Central park. Aku menggenggam tangan kecil Sofia yang berjalan sendiri dengan perlahan, sementara Cecil di sampingku membawa tas jinjing keperluan Sofia. Sesekali Sofia hampir terjatuh karena tersandung kakinya sendiri. Namun dengan antusias kusemangati ia untuk terus berjalan. Melihat Sofia berjalan sendiri dengan kakinya membuatku bahagia. Aku beruntung karena tak pernah melewatkan tumbuh kembangnya selama ini. Aku yakin ia akan tumbuh sehat dan baik.

Tak beberapa lama kemudian kami menemukan tempat yang tepat untuk piknik kecil kami. Aku membantu Cecil menyiapkan tempat piknik kami, sebuah karpet cukup besar telah terhampar di tanah berumput. Cecil menata beberapa camilan yang dibawanya dari rumah yang tentu saja buatan ibunya seperti salad buah, carrot cake kesukaannya, jus jeruk, dan sandwich isi tuna panggang yang sangat menggoda. Aku juga membuka tas jinjingku dan mengeluarkan camilan dan Sofia. Aku juga menemukan burito buatan ibu yang sepertinya khusus ia siapkan untukku.

Aku melirik ke arah Sofia yang sedang asik bermain bola plastiknya tak jauh dariku. Ia berlari-lari kecil dengan kaki mungilnya sembari mengejar bola yang terus melarikan diri dari tangannya.
  “Guk-guk… Guk-guk…,” ucap Sofia sambil menunjuk seekor bulldog yang baru lewat di depannya. Sepertinya ia menirukan gong-gongan anjing itu. Aku dan Cecil tertawa mendengarnya.
  “Begitukah suara anjing, sayang?,” ucapku padanya. Sofia tersenyum dan pipinya bersemu merah, ia mengangguk-anggukan kepalanya beberapa kali. Ia kembali sibuk dengan bolanya saat aku dan Cecil duduk sambil menghirup nafas panjang. Di sekitar kami banyak juga orang yang sedang berpiknik, sungguh pemandangan yang menyenangkan.
  “Aku sungguh tidak menyangka Sofia sudah 1 tahun, rasanya seperti baru kemarin aku melihat ia dipelukan An sesaat setelah ia lahir,” ucap Cecil memandang Sofia. Aku mengangguk.
  “Kau benar, aku juga belum bisa melupakan bagaimana ia menangis untuk pertama kalinya setelah lahir ke dunia. Tapi begitulah anak-anak bukan? Mereka tumbuh dengan cepat, dan seakan dalam hitungan detik mereka akan menjadi dewasa dan memulai hidup mereka sendiri. Tanpa disadari kita juga akan cepat menua.”
  “Melihat kau dan Sofia, rasanya aku juga ingin memiliki seorang anak, Lex. Aku ingin memiliki seseorang yang bisa menemani di saat apapun, dan bisa kuandalkan saat aku tua nanti.”

Aku menoleh menatap Cecil. Aku tahu ia belum bisa melupakan Todd, melupakan pria yang itu pasti sulit untuknya. Apalagi mereka telah berpacaran lebih dari 3 tahun, bukan waktu yang sebentar untuk menjadikan moment-moment yang mereka alami menjadi sesuatu yang istimewa.

Sofia berlari ke arahku, kuraih tubuh mungilnya dan kududukan di pangkuanku. Aku mengambil sebotol susu untuknya, dan ia mulai meminum susu itu dengan antusias. Aku kembali menatap Cecil.
  “Kau yakin baik-baik saja, Cecil?”
  “Tidak bisa dibilang baik, Lex hanya perlu waktu saja.”
  “Sudah mencoba bicara dengan Todd? Kupikir kalian perlu bicara, walau bagaimanapun kalian harus menjelaskan ini pada orang tuamu bukan?”
  “Aku belum bertemu dengannya, tapi aku sudah mengatakannya pada ibu dan ayah. Mereka tidak banyak berkomentar, mungkin mereka pikir akhirnya apa yang mereka khawatirkan selama ini terjadi juga. Aku yang dengan bodohnya tidak mempercayai ucapan mereka merasakan akibatnya.” Cecil mengusap wajahnya. “Huh Lex, aku merasa sangat malu berhadapan dengan mereka. Sejak awal mereka sudah memperingatkanku bahwa Todd bukan pria baik, tapi aku bersikeras tetap ingin menikah dengannya. Aku sangat bodoh.”

Kuulurkan tanganku ke punggung Cecil dan mengusapnya naik turun dengan lembut.
  “Kau tidak bodoh, Cecil. Kau gadis yang cantik, kau juga baik. Kau hanya sedang tidak beruntung bertemu dengan laki-laki seperti Todd. Kau tidak perlu malu dengan orang tuamu. Mereka menyayangimu, mereka tahu kau terluka karena itu mereka tidak menyinggung masalah ini lagi. Masih banyak pria baik di luar sana, percayalah padaku Cecil.”
  “Aku harap juga begitu, Lex. Aku ingin menemukan seseorang yang benar-benar mencintaiku apa adanya, kemudian kami menikah dan memiliki anak. Membayangkannya saja sudah membuatku bahagia.” Aku tersenyum membayangkan Cecil bersama suami dan anaknya, sungguh gambaran yang luar biasa.
  “Kau pasti akan mendapatkannya segera. Kenapa kau tidak mengencani salah satu dokter di rumah sakitmu saja, Cecil? Aku yakin beberapa di antara mereka belum menikah, tampan, kaya, dan seksi.” Cecil tertawa mendengar ucapanku.   “Tidak semua dokter tua dan berkepala botak kan?”

Mengucapkan kata dokter mengingatkanku pada Adam, tapi segera kutepis pikiran itu jauh-jauh. Tolong jangan mulai lagi Alexa, dan merusak hari baikmu ini.
  “Sepertinya itu ide yang bagus, tapi jika itu terjadi aku tak yakin dapat mengontrol diriku untuk tidak melakukan hal-hal aneh dengannya di tempat kerja. Oh itu benar-benar menggelikan, apalagi jika rekan satu kerjaku memergokinya.” Kami tertawa bersama.
  “Kau gila, Cecil.”
  “Ayolah sayang, aku hanya mencoba realistis. Aku muda dan bergairah.”
  “Dan kau seksi,” tambahku sambil menepuk pundaknya. “Jika itu terjadi jangan lupa menceritakannya padaku, karena hari berikutnya aku akan meminta salah satu temanmu untuk menjadi mata-mataku.”
  “Dasar protektif, katakan saja kalau kau cemburu.”
  “Selalu sayang,” ucapku menirukan gaya bicaranya yang seksi. Aku mengelus kepala Sofia yang menyender pada dadaku dan masih sibuk dengan botol susunya. Cecil ikut mengelusnya juga.
  “Jadi sekarang giliranmu untuk bercerita.”
  “Kau mengharapkan aku bercerita apa? Aku tidak punya cerita yang menarik, lagipula kau tahu semua tentang Sofia.”
  “Oh ayolah Lex, pertanyaan sama yang selalu membuatku penasaran 2 tahun ini. Kau tahu apa itu.”

Aku menoleh ke wajah Cecil. Kutatap matanya dengan tajam. Aku sadar tidak ada senyum di wajahku. Aku mengerti maksud perkataannya. Ini tentang sesuatu yang kusembunyikan dari semua orang, kebenaran ayah biologis Sofia. Topik ini sangat sensitif bagiku, apalagi setelah pertemuanku dengan Adam kemarin.
  “Aku tidak ingin membicarakannya.”
  “Alexa, sampai kapan kau akan terus tutup mulut, ha? Apa yang sebenarnya terjadi sampai kau menutupi identitas pria itu? Apa dia mengancammu?”
  “Tidak Cecil, ini adalah keputusanku. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak mengatakannya pada siapapun, mungkin juga tidak pada Sofia.”
  “Kau yakin? Tapi Sofia berhak tahu Lex, dia ayahnya kau ingat itu.”
  “Cecil, aku mohon jangan membicarakan masalah ini.” Aku menatap Cecil dengan wajah sangat memohon. Aku merasa belum siap mengatakannya pada siapapun.
  “Lex, aku sahabatmu dan kau sahabatku. Aku menceritakan semua kehidupanku padamu, rahasia-rahasia kecilku, kebiasaan memalukanku, bahkan peristiwa kelamku. Aku juga menceritakan betapa busuknya Todd padamu, dan lihat aku sekarang, aku merasa bebas seakan semua bebanku telah menguap.”

Aku melihat pancaran mata yang begitu hangat dari kedua mata Cecil. Hal itu membuatku tersentuh. Aku tahu ia sedang mengkhawatirkanku.
  “Aku ingin kau melakukan hal yang sama Lex. Bukan karena aku begitu ingin tahu rahasiamu, tetapi aku ingin sedikit mengurangi bebanmu. Kau selama ini selalu memendam masalahmu sendiri, membuatmu tersiksa seorang diri. Aku tidak bisa melihatmu seperti ini terus.”

Cecil meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat. Oh tidak, dia akan menggunakan senjata ampuhnya padaku. Ia menatapku dengan mata berkaca-kaca, tapi kali ini itu terasa begitu tulus.
  “Oh Cecil, kumohon hentikan semua ini.”
  “Katakan saja apa yang bisa kau katakan, aku hanya akan mendengarkannya. Tolong jangan membuat dirimu semakin menderita sayang.” Aku menatapnya dalam, dan nampaknya kali ini aku harus menyerah. Ya Cecil memang sahabatku, seharusnya aku bisa sedikit membagi lukaku padanya saat ia tanpa ragu-ragu menumpahkan semua lukanya padaku.
  “Aku tidak tahu harus memulainya dari mana, aku bahkan tidak bisa menyebutkan namanya.”
  “Tidak usah menyebut namanya jika tidak bisa, anggap saja pria itu Mr A, Mr B atau Mr C. Mulailah dengan kejadian malam itu, malam dimana kecelakaan itu terjadi.”

Aku menghembuskan nafas. Membuka kembali memori saat itu rasanya seperti membuka luka yang hampir sembuh. Sangat menyakitkan, dan melelahkan. Kupaksakan diriku untuk kembali membuka memori otakku yang selama 2 tahun ini tak pernah kusentuh. Meski ragu, perlahan aku mulai menceritakannya pada Cecil.

to be continued...

[FICTION] Because Of You #4


Cast :

  • Alexa Anastasia Robins
  • Adam Miller
  • Sofia Anastasia Robins as Alexa's daughter
  • Cecilia Gratton as Alexa's best friend
  • Mikael Holowitz as Cecil's friend
  • Anastasia Kyle as Alexa's mother
  • etc

Genre : Romance, Family
Categories : Adult
Rate : +17
Shoot : One

before chapter...
Oh Tuhan, hancurkan saja aku saat ini. Aku benar-benar ingin melarikan diri darinya. Aku tidak ingin berhadapan dengan Adam dalam emosi seperti ini. Meskipun sejujurnya sosok Adamlah yang sering mengisi pikiranku dan membuatku menjadi gelisah. Terkutuklah aku hari ini.


BAB 4

Aku duduk di hadapan pria yang telah 2 tahun tidak pernah kutemui. Aku pikir dia sedang berada jauh di Los Angeles sana, tetapi tiba-tiba aku mendapati dia duduk di hadapanku, tersenyum sambil menangkup cangkir kopinya yang masih mengepul. Kami duduk di salah satu meja kafetaria rumah sakit. Ia memaksa dan menarik tanganku kemari, ia bilang ingin mengobrol denganku. Lagi-lagi seperti orang bodoh aku mengikutinya tanpa protes.

Aku meremas-remas kedua tanganku di bawah meja. Aku tak berani menatap matanya secara langsung. Adam pria yang cerdas, dia dengan cepat dapat membaca pikiranku lewat mata jika aku terus menatapnya.
  “Kau pasti kaget melihatku di sini bukan?,” tanyanya dengan suara bariton yang belum berubah sejak terakhir kami bertemu.
  “Ya.” Aku berusaha bersikap tenang dan berjuang mengendalikan kewarasanku. Kuberanikan diri menatapnya, tidak tepat ke matanya tetapi ke dahinya. “Bukankah kau di Los Angeles? Kenapa tiba-tiba ada di sini?” Aku tak bisa menyembunyikan rasa penasaranku.
  “Aku memang tinggal di Los Angeles, tapi itu sebulan yang lalu Alexa. Rumah sakit tempatku bekerja dulu merekomendasikanku untuk pindah kemari. Karena ini New York, tempat dimana dulu aku pernah menimba ilmu jadi aku menerimanya, dan di sinilah aku sekarang.” Aku mengigit bibir bawahku, dan mencoba membangun obrolan dengan sisa-sisa pikiran normalku.
  “Akhirnya kau menjadi dokter yang sesungguhnya.”
  “Ya begitulah, menjadi seorang dokter bedah seperti yang kuinginkan. Lalu bagaimana denganmu Lex, berhasil menjadi desainer sukses?” Lagi-lagi Adam tersenyum. Aku sungguh tak ingin melihat senyumnya saat ini, karena itu membuat perasaanku semakin kacau.
  “Aku belum sukses meskipun aku sudah menjadi desainer seperti yang kuinginkan.”
  “Lalu dimana kau bekerja?”
  “Aku bekerja di sebuah butik tak jauh dari rumah.”

Aku terdiam menunggu Adam menanyaiku lagi, tetapi hingga beberapa detik berlalu ia tak mengucapkan sepatah katapun. Ia hanya menatapku, dan ini membuat suasana semakin tidak nyaman. Kuraih cangkir kopiku dan meminumnya perlahan.
  “Kau tidak berubah. Kau masih sama seperti Alexa yang kukenal.”
Aku menatap matanya dari balik cangkir kopi. Dia menatapku dengan tatapan tajam dan serius. “Kau masih cantik, Alexa.” Aku hampir tersedak kopiku sendiri mendengar ucapannya barusan. Aku menghentikan aktifitas minumku, dan menurunkan cangkirnya kembali ke meja.
  “Terima kasih, kau juga masih sama.”
  “Jadi apa yang kau lakukan di sini? Aku lihat kau berjalan dari area perawatan anak-anak, apakah kau menjenguk anak teman atau saudaramu?” Aku tercekat mendengar pertanyaan Adam. Ini mengingatku pada ibu dan Sofia. Aku menelan ludahku, tak tahu harus menjawab apa.
  “Mengantar.” Jadi kata itulah yang mampu kuucapkan.
  “Oh mengantar.”

Aku ingin mati saat itu juga. Sofia, aku mengingat Sofia dan membuatku seperti seorang penjahat terkeji di dunia. Aku meninggalkannya bersama ibu dimana seharusnya aku yang menemaninya, sementara aku duduk di sini bersama pria yang selama 2 tahun tak pernah kutemui. Aku benar-benar seorang ibu yang jahat.

Getar ponselku membuatku tersadar.
  “Lalu…” Aku mengangkat tanganku untuk memotong pembicaraan Adam. Aku bersyukur pada panggilan ibu yang memutus kegilaan ini.
  “Maaf,” ucapku pada Adam sambil mengangkat ponselku. Ia mengangguk. Aku berjalan agak menjauh darinya. Aku segera mengangkat panggilan ibu.
  “Sayang, kau dimana? Kami mencarimu sejak tadi, tapi kau tak ada di lobi,” ucap suara ibuku di seberang dengan penuh kekhawatiran. “Kau baik-baik saja kan?” Aku menghela nafas.
  “Aku baik-baik saja mom. Aku hanya pergi ke kafetaria sebentar untuk minum. Aku akan segera ke sana, tunggu aku.”
  “Baiklah, Sofia sudah mulai gelisah menunggumu.”
  “Aku mengerti mom.”

Kututup teleponku dan berjalan ke meja lagi.
  “Maaf Adam, aku harus segera pergi. Mereka sudah menungguku.” Kuraih saddle bag-ku yang kuletakkan di atas meja tanpa duduk terlebih dahulu. Adam bangkit dari tempat duduknya.
  “Baiklah, maaf aku menyita waktumu.”
  “Tidak masalah.”
  “Mau kuantar ke depan?” Aku menggeleng dengan segera.
  “Tidak perlu, tidak usah repot-repot, kau pasti sibuk.” Ia mengangguk pertanda mengerti.
  “Aku pikir aku tidak bisa menghalangimu pergi Alexa, meskipun aku masih ingin mengobrol denganmu.”
  “Aku minta maaf.”
  “Tidak perlu meminta maaf. Well, senang bisa bertemu lagi denganmu dan maaf untuk pelukan tadi.” Aku mengangguk.
  “Sampai jumpa, Adam.”
  “Sampai jumpa lagi, Alexa.”

Aku berjalan meninggalkan Adam tanpa menoleh lagi. Aku merasa lega sekaligus berat. Aku lega karena tidak harus menjawab pertanyaannya lagi yang terasa seperti sebuah interogasi, tetapi entah kenapa berat meninggalkannya dalam suasana seperti ini. Aku mencoba menguatkan diriku sendiri dan berusaha untuk tidak memikirkan apa yang barusaja terjadi.
  “Alexa.” Aku mendengar seseorang memanggilku. Aku menoleh ke belakang dan melihat Adam berlari ke arahku. Ia berhenti tepat di hadapanku dengan nafas terengah-engah. Ia mengambil sesuatu dari kantung dalam jasnya. Ia menyodorkan secarik kartu nama padaku. Aku menatap kartu nama di tangannya kemudian beralih menatapnya.
“Aku ingin bertemu lagi denganmu saat kau ada waktu luang, jadi tolong hubungi aku.”

Aku menatapnya sesaat, kemudian kembali menatap kartu nama yang disodorkannya. Dengan ragu-ragu kuambil kartu nama itu dari tangannya.
  “Oke,” jawabku. Adam tersenyum dan menarik nafas panjang. Ia akan mengatakan sesuatu saat seorang perawat tiba-tiba menghampirinya.
  “Dokter Miller saya mencari anda sejak tadi. Kamar 12A dalam keadaan darurat, harus segera masuk ruang operasi dalam 15 menit,” ucap perawat itu dengan wajah panik tanpa menoleh padaku.
  “Aku mengerti. Segera siapkan ruang operasi, minta suster kepala untuk menyiapkan seorang ahli anestesi, 2 orang dokter bantu, dan 2 orang perawat. Aku akan di sana dalam 10 menit.” Adam terlihat begitu serius, dan teliti dalam mengucapkan setiap instruksinya. Ini mengingatkanku pada waktu dulu, seperti inilah Adam yang kukenal.
  “Baik dokter.” Perawat itu pergi. Adam kembali menatapku.
  “Aku harus pergi sekarang,” ucapnya padaku.
  “Pergilah.”
  “Aku harap kau segera meneleponku, sampai jumpa lagi Alexa.” Adam berlari menjauh dariku dan aku hanya menatapnya dalam diam.
~ ~ ~

Aku duduk di dalam mobil, di kursi penumpang belakang sambil menyusui Sofia. Ibu dengan tenang mengambil alih posisi kemudi untuk menggantikanku. Sofia memejamkan matanya setelah merasa kenyang. Aku menyelimutinya dan membetulkan posisinya dengan hati-hati. Ia sama sekali tak terganggu dengan suara deru mesin mobil di jalanan. Ia begitu tenang dan nyenyak di pelukanku. Melihat wajah Sofia, membuatku tersenyum. Kemudian bayangan Adam muncul di pikiranku.

Aku mengusap wajahku dengan satu tangan yang bebas. Aku sedang mencoba menyadarkan diriku sendiri untuk tidak mengingat Adam saat ini. Kupejamkan mataku sesaat mencoba mengumpulkan keping demi keping kewarasanku, memusatkan perhatianku sepenuhnya hanya untuk Sofia. Meskipun kenyataannya itu sangatlah sulit, setelah apa yang terjadi beberapa saat lalu.

Adam bukan pria biasa. Dia seseorang yang berarti dalam hidupku, dalam masa laluku. Dia pria yang menjadi bagian terkelamku. Dia pria yang kukagumi karena kecerdasannya. Dia pria yang kutinggalkan tanpa pesan setelah malam terjadinya kecelakaan itu. Dia pria yang menyita pikiran gilaku selama 2 tahun terakhir sekaligus ingin kulupakan. Seseorang yang memiliki rambut cokelat tembaga dan mata abu-abu sama seperti putriku. Dialah pria yang mengambil kesucianku yang bahkan mungkin tidak ia ingat. Dialah yang membuat Sofia hadir ke dunia. Dia ayah putriku, malaikat kecilku, Sofiaku tersayang.

Aku tak kuasa lagi membendung air mata yang telah kutahan selama setengah jam ini. Aku menangis, menangis di dalam mobil dengan Sofia berada di pelukanku. Sesuatu yang paling kutakutkan akhirnya terjadi. Aku tak pernah membayangkan akan terjadi secepat ini. Aku takut bertemu lagi dengan Adam sekaligus membencinya dalam waktu yang sama, karena aku tahu aku tidak bisa memberitahukan kebenaran Sofia padanya.

Aku terus menangis dan dapat mendengar isak tangisku sendiri dengan jelas.
  “Sayang, kau baik-baik saja? Apa yang terjadi padamu?,” tanya ibuku dengan wajah khawatir.
  “Aku baik-baik saja mom,” ucapku dengan nada terbata-bata di sela tangisku yang tidak mau berhenti. Aku benar-benar ingin mengutuk diriku sendiri. Aku tidak mau menangis di hadapan ibuku dan Sofia. Aku telah berjanji tidak akan menangis di hadapan mereka. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?

Ibu menepikan mobil dengan cepat. Ia bergegas turun dari mobil dan pindah ke kursi belakang. Ia menangkup wajahku yang telah basah penuh air mata. Aku menggigit bibir bawahku untuk mereda suara isakanku agar tidak membangunkan Sofia.
  “Oh sayang, apa ini karena kunjungan tadi? Aku minta maaf, lain kali aku akan pergi sendiri dan tidak akan memaksamu untuk ikut.” Aku menggeleng mencoba meyakinkannya, ini bukan karena hal itu, tetapi aku juga tidak bisa mengatakan yang sesungguhnya.
  “Bukan mom, aku baik-baik saja. Aku tidak apa-apa.”
  “Oh sayang.” Ibu menarik kepalaku dan menyandarkan di dadanya. Ia memelukku dengan erat, membiarkanku merasakan kehangatannya. Aku menangis di dada ibuku setidaknya selama lebih dari setengah jam. Iapun memutuskan memanggil sopir pengganti untuk menyetir, sementara ia duduk di samping sambil memeluk dan menenangkanku.

Aku mencintai ibuku lebih dari apapun. Dia salah seorang yang selalu hadir di masa-masa tersulitku. Di saat aku mengetahui bahwa aku mengandung Sofia untuk pertama kalinya, saat aku mengalami kehamilan trisemester pertama yang begitu menyiksa, saat aku melahirkan Sofia di rumah sakit secara normal, dan saat-saat yang lain ia selalu ada. Sekarangpun aku membutuhkannya, membutuhkan ia lebih dari siapapun. Aku butuh seseorang yang menenangkanku, menyemangati, mendorongku untuk bangkit dan mengembalikan kewarasanku. Di satu sisi aku harus mendorong keluar ingatan yang membuatku menggila.

to be continued...

Desember 09, 2015

[FICTION] Because Of You #3



Cast :

  • Alexa Anastasia Robins
  • Adam Miller
  • Sofia Anastasia Robins as Alexa's daugther
  • Cecilia Gratton as Alexa's bestfriend
  • Mikael Holowitz as Cecil's friend
  • Anastasia Kyle as Alexa's mother
  • etc

Genre : Romance, Family
Categories : Adult
Rate : +17
Shoot : One

before chapter...
Bagiku Sofia adalah segalanya, dialah hidupku, nafasku, kebahagiaanku, senyumku, alasanku tetap hidup, alasanku tetap berdiri, dan malaikat kecil yang menjadi jawaban atas segala doaku. Tuhan mungkin tidak adil padaku awalnya, tetapi ia begitu menyayangiku sekarang.


BAB 3

Aku duduk di ranjang kamarku sembari menemani Sofia bermain. Aku begitu merindukannya seperti hari-hari sebelumnya. Rasanya berpisah selama 10 jam saja dengan putri cantikku ini serasa bagai setahun lamanya. Ia tersenyum manis padaku sembari memainkan Mr Teddy, si boneka beruang cokelat hadiah dari ibuku saat ulang tahun pertamanya sebulan yang lalu.
  “Apakah kau senang hari ini sayang? Kau tidak merepotkan nenekmu bukan?,” ucapku pada Sofia. Ia menjawab pertanyaanku dengan memukul hidungku menggunakan tangan mungilnya. Aku pura-pura terbelalak kaget. “Jadi kau ingin menjadi anak yang nakal di depan mama?” Sofia tersenyum lagi dan membuat pipinya terlihat sangat menggemaskan.

Aku menarik Sofia untuk mendekat dan mencium pipinya berulang kali hingga Sofia tertawa riang karena merasa geli. Mungkin Sofia hanyalah bayi yang baru berusia 1 tahun, tapi ia sangat sensitif terhadap perubahan emosi di sekitarnya terutama emosiku. Saat aku bahagia, ia akan ikut bahagia dan selalu tersenyum, tetapi saat aku sedih ia akan menjadi rewel dan sering menangis meskipun di kesehariaannya Sofia bukanlah anak yang cengeng.
  “Mama… mama…,” ucap Sofia dengan mulut kecilnya dan menampakkan beberapa gigi yang baru tumbuh. Sofia belum lancar berbicara, tetapi ia sudah dapat mengatakan beberapa kata seperti kata mama, nenek, ya, tidak, tidak mau, dan teddy. Ia juga mulai menirukan ucapanku dan ibu.
  “Iya sayang, apa yang kau inginkan?” Sofia justru menarik Mr Teddy dari tanganku.

Pintu kamarku berderit terbuka. Aku menoleh dan melihat Cecil muncul dari balik pintu.
  “Baru pulang, ha?”
  “Aku sangat lelah, Lex.” Cecil berbaring di dekatku setelah sebelumnya mengecup kepala Sofia. “Hari ini rumah sakit sangat kacau.”
  “Terjadi sesuatu?”
  “Sebuah kecelakaan lalu lintas mengerikan antara bis sekolah dan sebuah taksi tak jauh dari rumah sakit. Sebagian besar korban adalah anak kecil yang menumpang bis sekolah. Ruang ICU penuh, semua dokter dan tenaga medis pembantu hilir mudik, jeritan anak kecil terdengar dimana-mana. Huh, membuat kepalaku pusing sekaligus ingin meledak. Kami telah mengerahkan semua dokter, tetapi kami tetap kekurangan orang.” Aku membayangkan apa yang diceritakan Cecil dalam kepalaku, dan bergidik saat mendapatkan gambarannya. Darah dimana-mana, bau obat yang menyengat, suara anak-anak yang kesakitan sungguh gambaran yang tidak menyenangkan.
  “Apakah berakhir dengan baik?”
  “Untungnya begitu. Kepala rumah sakit segera menghubungi rumah skait terdekat untuk meminta bantuan dan memindahkan sebagian korban. Aku berharap hal ini tidak pernah terjadi lagi.” Cecil menutup matanya. Ia bernafas panjang-panjang mencoba tengah mengendalikan perasaannya. Aku yakin ia belum merasa baik karena kejadian itu.

Aku berpikir sejenak dan memutuskan untuk mengurungkan niatku membicarakan masalahnya dengan Todd. Siang tadi aku berpikir akan mengajak Cecil berbicara tentang Todd setelah ia pulang bekerja, tapi melihat kondisinya saat ini sepertinya bukanlah waktu yang tepat untuk menyinggung mantan tunangannya yang brengsek itu.
  “Kau ingin minum sesuatu, Cecil?”
  “Tidak perlu, sayang. Mungkin aku hanya butuh tidur lebih awal saja.”
  “Sepertinya memang begitu.”
  “Oh ya aku sudah memeriksa jadwal dokter Flinch, seperti kataku tadi pagi dia meluangkan waktunya jam dua dan sudah mengonfirmasinya ke bagian resepsionis. Kau langsung datang saja besok.”
  “Terima kasih, sayang.” Aku mengelus pundak Cecil. Ia bangkit dan menatap Sofia dengan senyum lebar.
  “Saat ini aku butuh hiburan, Lex dan hiburan yang paling tepat adalah…” Cecil tidak melanjutkan ucapannya. Ia justru meraih tubuh mungil Sofia ke dalam pelukannya. Ia mendaratkan ciumannya yang bertubi-tubi ke seluruh bagian wajah Sofia, membuat gadis kecilku kegeliaan dan tertawa riang.
  “Tidak mau… Tidak mau…,” ucap Sofia.
  “Jadi kau tidak mau bermain denganku, cantik?” Cecil menatap kedua mata abu-abu Sofia. “Baiklah, kalau begitu sebagai hukumannya aku akan menggelitikumu.” Cecil menggelitiki Sofia hingga membuat Sofia bergerak kesana-kemari. Aku bergabung dengan kegembiraan mereka. Seketika itu juga raut lelah di wajah Cecil menghilang. Aku senang karena kehadiran Sofia tidak hanya membuatku bahagia, tetapi juga membuat orang lain seperti Cecil ikut bahagia.

Kami bertiga tertidur pulas dua jam kemudian setelah lelah bercanda tanpa mengganti baju terlebih dahulu. Bahkan saat bangun keesokan paginya, aku melihat Cecil masih mengenakan sepatunya saat tidur. Kami terlihat seperti keluarga kecil yang hidup bahagia meski dunia tidak mempedulikan kami.
~ ~ ~

Hari ini tidak banyak yang kukerjakan di butik. Aku melanjutkan pekerjaanku untuk menyelesaikan 3 gaun pesta yang telah menunggu, kemudian kuserahkan sisanya pada 4 asistenku. Tak berapa lama kemudian aku menemui Miss Bennet, menemaninya melakukan fitting gaun pengantinnya. Kami mengobrol sebentar untuk membahas bagaimana pendapatnya tentang gaun pengantin yang telah kubuat. Setelah ia mengatakan puas dengan hasilnya, ia pamit undur diri dan akan mengambil gaunnya senin depan setelah gaunnya di-finishing sekaligus sebagai fitting akhir.

Tepat pukul 1 siang aku keluar dari butik setelah sebelumnya berpamitan dengan Lucy dan mengucapkan salam akhir pekan pada rekan kerjaku yang lain. Aku memacu mobilku menuju rumah untuk menjemput ibu dan Sofia. Aku menghentikan mobilku tepat di depan pintu gerbang saat ibu berjalan keluar dari rumah bersama Sofia yang tertidur pulas di pelukannya. Ya ini adalah jam tidur siangnya yang tak bisa diganggu gugat.

Aku membukakan pintu untuk ibu dari dalam.
  “Hai sayang, kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu?” Ibu menutup pintu perlahan agar tak membangunkan putri kecilku.
  “Sudah mom, jangan khawatir aku mendapat ijin dari Lucy.” Aku mulai menjalankan mobilku menjauh dari rumah.
  “Baguslah kalau begitu. Oh ya besok aku tidak bisa menemanimu jalan-jalan dengan Sofia.”
  “Kenapa mom?”
  “Aku harus menyiapkan kamar Ben dan Alexis, karena akhirnya ia memutuskan untuk pindah bersama Vivian dan Alexis.” Aku terkejut mendengar berita bagus ini.
  “Apa ini beararti mereka akan menetap?”
  “Tentu saja, sayang. Sepertinya Vivian telah menemukan sekolah yang bagus untuk Alexis tak jauh dari sini. Kau tahu rumah kita akan ramai dengan anak-anak.”
  “Itu bagus mom, kau dan Sofia tidak akan kesepian lagi saat aku harus bekerja. Sofia juga akan memiliki teman bermain sekaligus kakak yang cantik.”
  “Tentu saja.” Ibu dan aku tertawa bersama. Membayangkannya saja sudah sangat menyenangkan apalagi saat itu benar terjadi.

Kami terus mengobrol sambil tertawa sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Hal ini setidaknya sedikit mengalihkan kekhawatiranku tentang kunjungan ke rumah sakit. Aku sangat membenci rumah sakit. Suasana rumah sakit yang dipenuhi orang-orang yang terluka atau tertidur penuh penderitaan, bau obat yang menyengat, ruangan yang dipenuhi alat-alat entah apa jenisnya yang membuatku langsung begidik saat melihatnya. Rumah sakit menjadi salah bagian yang paling kutakuti dalam hidupku.

Sebelum memiliki Sofia aku tidak pernah mau masuk rumah sakit, walaupun hanya untuk mengunjungi saudara yang dirawat di sana. Saat sakitpun aku lebih memilih di rawat di rumah dan ibu akan memanggil dokter untuk memeriksaku. Tetapi sejak mengandung Sofia, mau tidak mau aku harus memaksa diriku pergi ke rumah sakit untuk mengecek kesehatanku dan Sofia.

Aku selalu meminta ibu untuk menemaniku, bukan karena aku malu datang ke dokter kandungan seorang diri tanpa suami. Ini lebih seperti aku butuh seseorang yang menenangkanku saat dokter mulai menggunakan peralatannya pada tubuhku. Setiap tiga bulan sekali aku harus memeriksakan Sofia untuk pemeriksaan secara menyeluruh. Meskipun aku membenci rumah sakit, tapi aku ingin anakku mendapatkan fasilitas kesehatan yang maksimal seperti pemeriksaan rutin untuk menghindari penyakit yang tak diinginkan dan mendeteksinya lebih awal.

Kami memasuki rumah sakit setelah memarkirkan mobil. Sofia telah bangun dari tidur siangnya dan mulai menggelayut di gendonganku. Sepertinya ia merasakan kekhawatiranku saat masuk tadi. Ia menarik-narik kemejaku, membuatku semakin tak tenang. Kami sampai di depan ruangan dokter Flinch, dan seorang perawat telah menunggu kami. Pukul 2 tepat, syukurlah kami tidak terlambat.
  “Sofia Anastasia Robins atas nama Mrs Alexa Anastasia Robins?,” tanya perawat berseragam putih itu sembari melihat cacatan di clipboard-nya.
  “Ya benar,” jawabku.
  “Silakan masuk, dokter Flinch sudah menunggu.”
  “Terima kasih.” Perawat itu membukakan pintu dan masuk ke dalam terlebih dahulu.

Aku menyerahkan Sofia pada ibu.
  “Mari sayang.” Sofia menarik kemejaku sesaat sebelum sampai di pelukan ibu.   “Oh tidak perlu takut, manis. Ini akan cepat berlalu.”
  “Sofia sayang, ikutlah dengan nenek. Jangan menangis, dan jangan membuat susah dokter, oke?” Aku mengelus lembut pipi Sofia. Sofia mulai terlihat tenang. “Anak baik.”
  “Kau yakin masih tidak mau masuk, sayang?”
  “Tidak mom, aku tidak mau muntah atau yang lebih parah pingsan tiba-tiba.”
  “Baiklah kalau begitu.”
  “Aku akan menunggu di lobi.” Ibuku mengangguk tanda paham.
  “Aku akan meneleponmu jika sudah selesai.” Ibu berjalan menuju ruang dokter Flinch. Aku menatap Sofia dan melambai padanya sesaat sebelum perawat menutup pintu.

Aku menghela nafas dan meyakinkan diri bahwa Sofia akan baik-baik saja. Ia bersama ibu, dan di tangan dokter yang telah merawatnya sejak ia lahir. Jadi aku tidak perlu khawatir. Aku berjalan menyusuri koridor kembali menuju lobi depan. Saat membelok aku mendengar seseorang memanggilku dari belakang.
  “Alexa.” Di tengah kegelisahanku berada di rumah sakit, spontan kuhentikan langkahku dan menoleh ke belakang, ke arah sumber suara.

Di sana berdiri sorang pria berambut cokelat tembaga dengan mata abu-abu yang menatap tak percaya padaku. Tubuh tingginya yang menjulang terlihat begitu pas dengan tubuh atletis yang terbungkus jas putih dengan stetoskop yang menggantung di lehernya. Mataku seketika membulat lebar dan mulutku sedikit terbuka. Pria itu membuatku membeku di tempat. Ia tersenyum, sebuah senyum kecil yang membuatku tak bisa mengatakan apa-apa.

Oh Tuhan, mulutku secara tercekat, bibirku terasa pahit, dan jantungku seakan berhenti sesaat. Otakku bahkan tak bisa bekerja selama sepersekian detik, tak bisa mengirim respon apapun terhadap pemandangan di hadapanku. Aku seperti patung seorang gadis dengan wajah kagetnya yang menghalangi jalan di koridor itu. Aku bahkan tak bisa menggerakkan tanganku untuk menutup mulutku yang ternganga. Setiap orang yang lewat pasti bisa melihat wajah syokku yang pasti terlihat sangat bodoh.

Pria itu berjalan mendekatiku. Aku menjerit “,Jangan mendekat!” Kupikir suara itu keluar dari mulutku, rupanya suara itu berasal dari hatiku. Aku mulai merasa gelisah.
  “Alexa, kaukah itu?,” ucap pria itu menyentak kesadaranku untuk kembali ke dunia nyata. Aku masih menatapnya lekat, dan segera menutup mulutku.
  “Ya.” Hanya kata-kata itu yang bisa muncul dari mulutku. Pria itu menatapku balik dengan tatapan lembutnya. Jika aku gadis normal pasti saat ini juga aku sudah meleleh karena tatapannya, sayangnya aku dalam kondisi yang tidak normal. Pria itu tersenyum semakin lebar.
  “Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini,” ucapnya dengan nada riang.
  “Begitupun denganku.” Aku menelan ludahku sendiri. Aku mengutuk diriku yang sangat kaget karena bertemu dengannya secara tiba-tiba. Ayolah kemana pergi Alexa yang biasa, yang selalu ceria menyapa orang yang ia temui di jalan? Alexa yang selalu ramah dan bersemangat? Semuanya menguap dalam hitungan detik karena sosok di hadapanku ini, itulah jawabannya.
  “Lama kita tidak berjumpa, bagaimana kabarmu?”
  “Baik, sangat baik. Kau?”
  “Aku juga sangat baik.”

Pria itu masih tersenyum. Ia berjalan semakin mendekatiku. Aku ingin berjalan mundur untuk memberi jarak, sesungguhnya berdiri terlalu dekat dengannya bukanlah ide yang bagus. Tetapi sayangnya kakiku tidak mau bergerak se-inchi-pun. Dia memegang kedua pundakku. Sentuhannya mengirimkan aliran yang sangat dahsyat langsung ke kulitku, seperti aliran listrik bertegangan tinggi. Hal itu membawa dampak semakin buruk dalam diriku. Aku semakin membeku, dan sekilas dapat kulihat tanganku agak bergetar dengan kulit yang telah memucat.
  “Senang bisa bertemu lagi denganmu, Alexa.”

Semua terjadi begitu cepat, dalam hitungan detik ia menarikku dan menjatuhkan tubuhku dalam pelukannya. Aku semakin tidak berkutik. Aku hanya diam saat tubuhnya melingkar di tubuhku dengan begitu protektif. Aku dapat merasakan setiap bagian tubuhnya menempel di tubuhku membuatku terhipnotis. Aku bahkan mencium aroma tubuhnya yang khas, aroma jerami di musim panas dengan sedikit perpaduan aroma hutan pinus yang sangat kukenal.
Aroma itu begitu memabukkan bahkan setelah bertahun-tahun lamanya.
Ia melingkarkan kedua tangannya di punggungku, menyentuhku lembut seakan ia mengenal setiap bagian dari tubuhku. Aku memejamkan mataku sesaat, karena sensasi aneh yang menggelitik punggungku saat ia mengusapnya perlahan.
  “Kenapa kau diam? Apa kau tidak mengingatku, Alexa?,” tanyanya. Aku masih dalam pelukannya. Aku membuka mataku, dan memaksa mulutku untuk mengeluarkan suara.
  “Tentu saja aku mengingatmu, aku sangat mengingatmu, Adam,” ucapku getir.
  “Syukurlah.”

Tiba-tiba aku merasa segala emosi bermunculan dalam hatiku, marah, sedih, dan takut mendesak untuk keluar bersamaan. Aku dapat merasakan pelupuk mataku telah terisi penuh air mata yang akan sulit untuk dibendung. Aku mengepalkan tanganku yang masih bergetar dan mendorong tubuh Adam untuk menjauh. Aku menatapnya dalam, sambil terus berusaha menahan air mataku.
Oh Tuhan, hancurkan saja aku saat ini. Aku benar-benar ingin melarikan diri darinya. Aku tidak ingin berhadapan dengan Adam dalam emosi seperti ini. Meskipun sejujurnya sosok Adamlah yang sering mengisi pikiranku dan membuatku menjadi gelisah. Terkutuklah aku hari ini.

to be continued....

[FICTION ] Because Of You #2


Cast :

  • Alexa Anastasia Robins
  • Adam Miller
  • Sofia Anastasia Robins as Alexa's daughter
  • Cecilia Gratton as Alexa's bestfriend
  • Mikael Holowitz as Cecil's friend
  • Anastasia Kyle as Alexa's mother
  • etc

Genre : Romance, Family
Categories : Adult
Rate : +17
Shoot : One

before chapter...
“Selamat malam, Cecil. Semoga mimpi indah,” ucapku dengan suara yang begitu lirih. Aku menatapnya sekilas, kemudian mematikan lampu dan meninggalkan ia seorang diri hanyut dalam bunga tidurnya.


BAB 2


Aku mengenakan celemekku dan menggulung lengan blouse-ku hingga siku. Aku berjalan ke arah kulkas dan mengambil beberapa sayuran, roti tawar, dan mayonnaise buatan ibu. Di ruang tengah aku mendengar celoteh ibu yang sedang mengajak Sofia bercanda. Suaranya terdengar begitu riang di tengah gelat tawa Sofia yang membuatku ikut tersenyum.
  “Sayang, aku akan membeli sesuatu di supermarket sebentar. Kutinggal Sofia di sini,” teriaknya dari ruang tengah.
  “Perji saja mom, mataku selalu memperhatikannya,” balasku. Kulihat Sofia sedang asik bermain dengan beberapa bonekanya saat ibuku keluar. Aku tersenyum melihatnya.

Aku menyendokkan bubur ke dalam mangkuk makan Sofia. Bubur yang kubuat pagi-pagi tadi sebelum kutinggal untuk mandi dan berdandan. Aku tidak merasa risih sama sekali memasak di dapur dengan mengenakan setelan kerjaku yang bersih, rambut yang disanggul tinggi dan wajah yang telah dipoles make up minimalis. Aku seorang ibu muda, dan sudah terbiasa melakukan pekerjaan seperti ini. Bagiku memasak sarapan untuk malaikat kecilku adalah saat terbaik dalam kehidupanku, karena aku dapat benar-benar memanjakannya dengan makanan yang kubuat. Lagipula aku tak bisa menemaninya makan siang, bermain atau tidur siang karena aku harus berkutat dengan pekerjaanku hingga sore hari.
  “Selamat pagi semuanya.”

Cecil baru saja keluar dari kamar tamu dengan rambut pirangnya yang masih setengah basah. Ia mengenakan salah satu setelan kerja terbaikku yang kuletakkan di ranjang pagi ini, sebuah kemeja biru, blazer, dan celana panjang hitam nampak seksi membalut tubuhnya. Ya kami sudah terbiasa berbagi pakaian bersama sejak dulu termasuk pakaian dalam karena kami memiliki 1 ukuran yang sama. Itu bukan hal yang memalukan lagi bagi kami.
  “Hei Sofia, selamat pagi.” Cecil terdengar riang menyapa putri kecilku seakan kejadian semalam tak pernah terjadi. Lewat bahu aku bisa melihatnya menggendong Sofia dengan wajah berseri bahkan berulang kali mencium pipi Sofia.
  “Apa kau lapar?,” teriakku dari dapur.
  “Sangat, sayang. Jika kau memiki setangkup roti dan segelas susu aku akan sangat berterima kasih.”
  “Kemarilah, aku membuat sandwich untukmu.”

Cecil berjalan ke dapur dengan Sofia yang menggelayut di gendongannya. Ia mendudukkan Sofia di kursi makan tinggi dan malaikat kecilku sama sekali tidak protes. Benar-benar anak yang baik. Cecil duduk di kursi sebelah Sofia.
  “Aku tidak melihat An, dimana ia pergi?”
  “Mom keluar sebentar untuk membeli sesuatu, mungkin sebentar lagi kembali.” Aku meletakkan sebuah piring besar berisi beberapa tangkup sandwich. Cecil menuang susu ke dalam 3 gelas besar.
  “Sayang apakah Sofia baik-baik saja?,” teriak ibuku begitu membuka pintu. Itu kebiasaan yang tak bisa ia hilangkan, tak ada salam atau sapaan pagi hanya sebuah teriakan untuk memastikan Sofia tidak bermain seorang diri.
  “Dia bersamaku di sini mom.” Ibuku masuk ke dapur.
  “Oh selamat pagi, Cecil sayang.” Ibuku menghampiri Cecil dan mengecup kepalanya penuh sayang. Cecil sudah ia anggap seperti putrinya sendiri, terkadang melihat perlakuan ibuku padanya membuatku cemburu.
  “Selamat pagi, An.”
  “Apa saja yang kau beli mom? Apakah pergi ke supermarket seberang dapat membuat wajahmu begitu berseri seperti itu?”
  “Uh sayang, kau tidak tahu apa yang baru saja kuhadapi.”

Ekspresi ibuku mulai serius. Ia benar-benar seorang drama queen sejati. Ia mampu menceritakan sebuah masalah kecil yang biasa saja menjadi begitu dramatis bagi yang mendengarkannya. Ia duduk di samping Cecil sementara aku mengambil tempat di seberang mereka sembari mulai menyuapi Sofia.
  “Aku bertemu dengan Mrs Finnigan, si ratu gosip yang wah itu.”
 “Wanita berambut putih yang tinggal di sebelah?,” tanya Cecil. Ibuku menggigit sandwichnya sambil mengangguk. Aku melirik ibuku kemudian menyuapi Sofia lagi dan membersihkan noda di sekitar pipinya.
  “Kali ini apa yang ia keluhkan? Tukang pipa air? Dokter hewan yang baru menyembuhkan anjing Mrs Wood atau menantunya yang super cantik?,” selaku.
  “Lebih parah dari itu, sayang. Ia bercerita tentang tingkah pemilik kos-kosan samping rumahnya.” Aku mengerutkan dahi. “Mr Rainer, kau tahu kan? Dia bilang semalam ia melihat pria tua itu keluar dari mobil seorang gadis muda. Gadis itu sangat cantik, berumur sekitar 25 tahun. Ia yakin tak pernah melihat gadis itu di sekitar daerah ini. Ia menduga gadis itu pacar muda Mr Rainer. Karena penasaran iapun menghampiri gadis itu setelah gadis itu mencium Mr Rainer untuk menanyakan kebenarannya. Dan kau tahu apa yang terjadi, sayang?”
  “Tolong tidak usah terlalu mendramatisir mom.” Aku memutar mataku kemudian mulai menyantap sandwichku di sela-sela menyuapi Sofia.
  “Ternyata gadis itu anak perempuan Mr Rainer yang baru pindah dari Los Angeles seminggu yang lalu.” Ibuku tertawa lebar dengan mata yang hampir terpejam. “Kalian bisa bayangkan bagaimana ekspresi masam Mrs Finnigan saat itu? Aku yakin 100% ia sangat malu.” Aku dan Cecil hanya tersenyum kecil melihat antusias ibuku yang begitu berlebihan.
  “Aku yakin bisa membayangkannya, karena sejujurnya aku juga tidak suka dengan wanita galak itu.” Cecil mengerutkan wajahnya dengan tatapan sebal seakan-akan Mrs Finnigan benar-benar ada di hadapannya.
  “Ah ya Cecil, aku ingat saat kau pertama datang kemari dia memarahimu karena membuang sampah sembarangan bukan?”
  “Oh terima kasih An karena telah mengingatkan hal menjengkelkan itu. Kalian tahukan bukan aku yang membuang sampah itu, tapi nenek sihir itu tetap memarahiku. Sepertinya ia mempunyai gangguan temperamen yang parah.” Aku tertawa melihat ekspresi jengkel Cecil.
  “Tapi dia lebih galak daripada ibumu.”
  “Ya kau benar.” Tiba-tiba Cecil membelalakkan matanya. “Oh my god, aku lupa menelepon ibuku.” Ia bahkan menjatuhkan sandwichnya ke piring dengan mulut terbuka lebar. Ya sekarang aku melihat kemiripannya dengan ibuku. Mereka benar- benar ahli mendramatisir situasi. Akhirnya ibuku menemukan pasangan yang sesuatu untuk memainkan drama tragis dalam kehidupannya.
  “Aku sudah meneleponnya semalam. Aku bilang kalau kau akan menginap di sini selama beberapa hari karena kau sedang sibuk di rumah sakit.” Cecil bernafas lega kemudian menatapku dengan tatapan penuh syukur.
  “Oh sayang aku mencintaimu. Kau selalu bisa diandalkan. Jika kau tidak meneleponnya ia pasti membunuhku saat aku pulang.”
  “Aku memang selalu bisa diandalkan.” Kami tertawa bersama, bahkan Sofia ikut tertawa renyah seakan mengerti apa yang sedang para orang dewasa ini bicarakan.
  “Oh ya sayang, bisakah kau menolong kami memastikan jadwal dokter Flinch untuk pemeriksaan rutin Sofia besok?,” ucap ibuku sambil memandang Cecil. Sekarang tawa riang telah hilang dari wajahnya berganti dengan ekspresi super serius.
  “Tentu saja, sepertinya besok dokter Flinch ada waktu setelah makan siang sekitar pukul 2 dan tak ada jadwal kosong lagi setelahnya hingga seminggu ke depan.”
  “Benarkah?,” tanyaku penasaran.
  “Setahuku ia akan mengikuti seminar ilmiah di London minggu depan selama 5 hari. Jadi kalian harus tepat waktu besok, dan aku akan memastikan jadwalnya lagi nanti.”
  “Terima kasih sayang.” Ibuku mencium kepala Cecil lagi. “Hei lekas bersiap, sudah hampir pukul 7 kalian harus segera berangkat jika tak ingin terlambat.”

Aku membelalakkan mata begitu pula dengan Cecil. Kami segera menghabiskan susu kami. Aku menoleh pada Sofia dan mencoba membersihkan bubur yang mengotori pipinya, tetapi ibu segera meraih tanganku.
  “Pergilah biar aku yang urus, sayang.” Cecil telah melesat lebih dulu ke mobilnya dan mengucapkan salam sambil berteriak seperi orang gila.
  “Thanks mom.” Aku segera mencium pipi ibuku, kemudian pipi Sofia. “Sampai jumpa, malaikat kecilku. Aku pergi mom.”
  “Hati-hati sayang.” Aku berlari ke ruang tengah, meraih flipbag, coat dan kunci mobilku. Aku melirik ke Sofia sekilas sambil tersenyum sebelum keluar melewati pintu.

Tak butuh waktu lama untukku sampai di tempat kerjaku yang hanya berjarak 1 km dari rumah. Setelah memarkirkan mobil di gedung seberang, aku segera berlari memasuki Belle Boutique. Di sinilah aku bekerja selama 8 bulan terakhir sejak aku lulus kuliah. Aku mencintai tempat ini, sama seperti aku mencintai desain dan Sofia. Aku bekerja sebagai seorang desainer khusus gaun pengantin dan pesta di butik ini.

Bosku bernama Lucinda Evans, seorang wanita setengah Inggris yang sangat elegan dan cantik meski ini ia memasuki usia ke-43 tahunnya. Ia seperti ibuku di tempat kerja. Ia sangat baik, dan memberiku banyak kelonggaran yang tak ia berikan pada pegawainya yang lain. Bukan karena aku diistimewakan, tetapi karena ia memahami posisiku sebagai single parent dengan seorang putri berumur 1 tahun yang butuh banyak perhatian dan sebagai konsekuensinya aku harus bekerja maksimal tanpa kekurangan sedikitpun. Aku bersyukur bertemu banyak orang yang menyayangiku di dunia ini termasuk Lucy salah satunya.

Wanita itu telah menunggu di ruang kerjaku sembari mengamati sebuah gaun pengantin berwarna merah yang terpasang di mannequin, gaun yang sedang kukerjakan untuk pelanggan VVIP kami. Ia menopang dagu dengan tangan kirinya, pertanda ia sedang berpikir. Keheningan terasa sedikit menegangkan, namun kucoba untuk tetap tenang.
  “Apakah aku terlambat?,” tanya gugup berdiri di belakangnya.
  “Oh tidak sayang, aku hanya ingin memastikan pekerjaanmu berjalan dengan lancar.” Lucy berbicara tanpa menoleh ke arahku. Perlahan tanpa menimbulkan suara, kuletakkan flipbag dan coat-ku di kursi seberang dekat meja kayu besar yang berisi banyak sketsa di atasnya. “Berapa lama lagi gaun ini akan selesai?”
  “Hari ini kupikir, aku hanya perlu memasang beberapa renda dan kristal di bagian dada seperti keinginan Miss Bennet.”
  “Bagus sayang, pekerjaanmu sangat bagus,” ucapnya sambil tersenyum puas. Ia berjalan ke arahku.   “Jadi ini pekerjaan terakhirmu bulan ini bukan?”
  “Ya kupikir begitu jika tak ada pemesanan lagi. Apakah ada pesanan gaun pengantin baru?”
  “Tidak sayang, kau bisa bernafas lega selama akhir bulan ini. Jadi kau bisa menyelesaikan gaun pesta yang sudah menunggumu itu.” 

Lucy menunjuk 3 deret mannequin tak jauh dari mannequin dengan gaun pengantin merah. Ketiga mannequin itu telah dipakaikan gaun pesta, sebuah long dress berwarna hitam dengan potongan kerah V yang sangat seksi, sebuah mini dress berwarna ungu dari bahan satin bertumpuk-tumpuk pada bagian pinggang, dan sebuah mini fit dress berwarna biru muda dari bahan lace. Aku tersenyum melihat ketiga gaun pesta yang hampir selesai itu.
  “Tentu saja, itu tidak akan memakan waktu lama.”
  “Kerjamu sangat bagus, Lex dan aku sangat berterima kasih padamu sayang. Ketiga pelanggan kita yang memesan baju pengantin beberapa waktu yang lalu sangat puas dengan hasil kerjamu. Mereka sangat menyukai gaunnya, dan sangat berterima kasih padamu.”
  “Aku juga senang bisa membuat gaun indah yang membuat orang lain bahagia, Lu.” Aku tersenyum lebar, sebuah senyum yang tulus dari dalam hatiku. Itulah yang menjadi alasanku mengapa aku begitu menyukai dunia fashion, dunia desain, karena aku ingin membuat pakaian yang indah dan membuat orang lain bahagia.

Lucy memelukku, sebuah pelukan singkat namun hangat.
  “Kau sudah bekerja keras untuk Sofia sayang. Aku yakin ia pasti bangga memiliki ibu sepertimu.”
  “Terima kasih untuk pujiannya, Lu.” Lucy mengangguk. “Oh ya Lu, besok aku ingin pulang cepat. Aku harus membawa Sofia ke rumah sakit untuk pemeriksaan rutin.”
  “Tentu saja sayang, aku masih ingat saat kau mengatakannya kemarin. Semoga semuanya baik-baik saja.”
  “Terima kasih Lucy.” Lucy mengangguk kemudian berjalan keluar ruang kerjaku. Aku tersenyum melihat Lucy yang selalu pengertian dan baik hati.

Aku mengambil beberapa peralatan kerjaku dan mulai menyibukkan diri dengan pekerjaanku yang harus kuselesaikan. Pada tengah hari, aku telah berhasil menyelesaikan gaun pengantin merah pesanan Miss Bennet. Aku menatap gaun itu dengan bangga. Satu lagi karya telah berhasil kuselesaikan dengan baik. Gaun pengantin yang sebagian besar berbahan satin bridal itu terlihat begitu elegan di bawah cahaya lampu ruang kerjaku. Gaun dengan kemben pada bagian dada yang bertabur kristal dan renda-renda berbentuk bunga sebagai motif timbul itu terlihat semakin cantik dengan bagian bawah yang mengembang dan bertumpuk-tumpuk dengan layer terakhir dari silk lace.

Gaun itu telah mempesona mataku seakan aku bukanlah orang di balik terciptanya gaun indah tersebut. Ada sedikit perasaan getir terselip di hatiku saat memperhatikan gaun itu lebih lama. Aku telah membuat berbagai macam gaun pengantin, mulai dari gaun tradisional hingga modern, gaun termurah hingga termahal, tetapi aku belum pernah sekalipun mengenakan sebuah gaun pengantin dalam acara pernikahan yang sesungguhnya.

Memikirkan hal itu membuatku teringat pada putri cantikku, Sofia. Perasaan menyesal, marah, sekaligus sedih melingkupi hatiku. Sofia adalah putri yang sangat kucintai meskipun ia lahir karena sebuah kecelakaan yang tak kuinginkan. Aku terlalu gegabah dan tak bisa mengendalikan diri saat itu menyebabkan semua ini terjadi. Aku menyesali perbuatanku waktu itu, tetapi di satu sisi aku bersyukur memiliki Sofia saat ini. Tanpa ia entah seperti apa aku sekarang. Mungkin aku menjadi seorang gadis kutu buku yang mengenakan kacamata dan membawa setumpuk buku di tas kemanapun aku pergi atau justru aku berubah menjadi gadis nakal yang keluar-masuk kamar pria berbeda setiap harinya. Oh entahlah. 

Aku menghela nafas. Aku tidak mau memikirkannya lagi. Aku bahkan tidak peduli orang berbicara apa tentangku dan Sofia. Aku tidak peduli mereka terus mencemoohku sebagai gadis kotor yang mengandung anak haram di luar pernikahan. Aku tidak peduli bagaimana mereka melihatku dengan tatapan jijik, seakan aku seorang pelacur yang berhasil meniduri pacar atau suami mereka. Bagiku Sofia adalah segalanya, dialah hidupku, nafasku, kebahagiaanku, senyumku, alasanku tetap hidup, alasanku tetap berdiri, dan malaikat kecil yang menjadi jawaban atas segala doaku. Tuhan mungkin tidak adil padaku awalnya, tetapi ia begitu menyayangiku sekarang.

to be continued.....

[FICTION] Because Of You #01


Cast    :
  • Alexa Anastasia Robins
  • Sofia Anastasia Robins as Alexa’s daughter
  • Adam Miller
  • Mikael Horowitzs as Cecil’s friend
  • Cecilia Gratton as Alexa’s bestfriend
  • Etc

Genre  ; Romance, Family, Adult
Rate     ; +17
Shoot   : One shoot




BAB 1


            Aku terbangun dari tidur ayamku dengan keringat yang mengucur dan membasahi t-shirtku. Entah mengapa akhir-akhir ini aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Aku berpikir mungkin cuaca sialan itu yang telah menganggu jam biologisku. Panas yang begitu menyiksa bahkan saat malam tiba, membuatku ingin mengutuk AC di dinding yang tidak bekerja dengan maksimal meskipun telah kuatur dalam suhu rendah.
          Aku bangkit dan duduk di tepi ranjangku, sepertinya menghirup udara malam akan sedikit menghilangkan hawa panas di tubuhku. Sekilas aku melirik pada sosok mungil yang meringkuk di sampingku. Sosok cantik dengan rambut cokelat tembaga yang agak ikal membentuk bulatan-bulatan kecil, tangan mungilnya memeluk Mr Teddy, salah satu boneka kesayangannya dengan begitu erat, dan bulu matanya yang panjang dan lentik bergerak-gerak sesaat.
           Aku mendekatinya dengan perlahan, mengelus-elus pipinya yang chubby dengan hati-hati agar tak membangunkannya. Aku tersenyum melihat ia tertidur dengan nyenyak dan damai, seakan menghapus semua bayanganku tentang tangisnya di setiap malam saat ia terbangun karena merasa tidak nyaman meski itu sudah terjadi cukup lama. Kulit putih susunya terlihat begitu indah di bawah sinar redup cahaya lampu. Dia benar-benar malaikatku, malaikat kecilku yang memberiku alasan untuk terus hidup. Dialah Sofia, bayi cantikku yang baru berusia 1 tahun.
      Aku mengecup keningnya, kemudian bangkit dari ranjang berusaha tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Dengan langkah berjengit, aku berjalan menuju balkon kamar. Begitu membuka pintu kaca geser, segera udara malam yang begitu sejuk menerpa wajahku, menggelitik setiap jengkal syaraf kulitku dengan begitu lembut. Aku berdiri dan bersandar pada pembatas besi yang begitu dingin saat menyentuh kulitku. Balkon adalah tempat favorit untuk menghabiskan waktu tenangku saat malam hari, saat tak ada banyak pekerjaan yang harus segera kuselesaikan.
            Kupejamkan mataku, membiarkan desiran angin menggodaku. Aku bisa merasakan rambut panjangku berterbangan, melambai-lambai dengan riangnya karena berhasil merasakan kebebasan setelah kusanggul selama seharian. Kakiku serasa sedang digelitik oleh tangan-tangan nakal, membuatku ingin tertawa geli tetapi kutahan karena tak ingin membangunkan gadis cantikku. Aku bersyukur mengenakan hot pants biru bututku, salah satu celana favoritku yang akan kukenakan sebagai baju tidur saat cuaca begitu menyiksa.
            Kesenanganku sedikit terganggu saat ponselku bergetar di saku belakang celanaku. Aku menarik keluar ponselku dan melihat sebuah panggilan di layar LCD. Segera kugeser tombol angkat dan mendekatkan ponselku ke telinga.
        “Hai sayang,” sapa suara yang sangat ku kenal dari seberang. Nadanya bahkan terdengar sangat seksi seperti tengah merayu seorang pria. Kulirik ponselku sekilas untuk melihat jam, sudah pukul setengah satu malam.
            “Kau tidak salah menelepon kan?” Gadis di seberang tertawa ringan.
            “Tentu saja tidak, apa yang sedang kau lakukan sayang? Hah, aku merasa bosan dan berjalan-jalan sebentar, tapi tiba-tiba aku teringat padamu.” Aku mendengus mendengar celoteh gadis itu.
            “Kau dimana sekarang? Haruskah aku menjemputmu?”
            “Oh tidak-tidak, aku sedang bersenang-senang sayang atau lebih tepatnya baru saja bersenang-senang.” Gadis itu tertawa lagi. “Kau tahu apa yang baru saja terjadi padaku?”
            “Apa?”
            “Si brengsek Todd, aku melihatnya sedang bercumbu dengan seorang gadis afro di klub. Huh rasanya sangat menjengkelkan.” Aku membulatkan mataku.
            “Kau tidak bercanda kan, Cecil?”
            “Kau bisa mendengar nada bicara seriusku, ha? Aku sangat marah saat itu, jadi kuhampiri mereka. Aku menarik baju Todd dengan keras, memaki-makinya di hadapan gadis jalang itu hingga ia berlari terbirit-birit. Aku yakin dia pasti ketakutan melihat wajah galakku. Dan kau tahu apa yang terjadi berikutnya Alexa?” Cecil mulai memanggil namaku, itu berarti ia benar-benar serius dengan ucapannya.
            “Apa?”
            “Aku menampar wajahnya, membuat dia melihatku menahan tangis. Aku benar-benar tidak ingin menangis di hadapannya Lex, itu membuatku terlihat sangat memalukan. Aku memutuskannya, tapi aku sendiri yang menangis bisa kau bayangkan itu?”
            “Ya tentu saja. Kau pasti sangat menderita.” Cecil menghembuskan nafasnya.
            “Aku berlari Lex, aku melarikan diri. Aku tidak ingin melihat wajahnya lagi, dan di sinilah aku sekarang teringat padamu. Setidaknya aku masih memiliki seorang sahabat yang bisa kuajak bicara bahkan di saat seharusnya dia berada di sisi putrinya. Aku merasa bersalah pada Sofia karena merebut perhatiaanmu darinya.”
            “Oh Cecil jangan berkata seperti itu. Kau tidak merebut perhatianku darinya, lagipula putriku sudah tidur.” Cecil diam dan beberapa kali menghembuskan nafas beratnya. Aku tidak bisa membiarkan dia seorang diri dalam keadaan seperti ini. “Cecil, dimana kau sekarang? Aku akan menyusulmu.” Cecil justru tertawa.
            “Oh tidak perlu sayang, aku sedang memandangimu sekarang.”
            “Memandangiku? Apa maksudmu?” Aku mengerutkan dahiku.
            “Aku di depan pintu rumahmu.”
Aku kaget mendengar ucapannya. Aku melihat ke arah bawah, lewat pencahayaan yang minim aku berusaha mempertajam mataku. Di sana, di dekat pohon cherry yang tumbuh tak jauh dari pintu gerbang rumahku berdiri seorang gadis berambut pirang yang mendongak ke arahku. Ia melambai beberapa kali padaku, dan aku merasa sangat lega melihat ia baik-baik saja. Setidaknya ia di sini, tidak di luar sana melakukan hal-hal yang tak bisa kubayangkan.
            “Aku akan turun sekarang, tetap di sana oke?”
            “Baiklah sayang.”
            Aku segera turun ke lantai 1 dengan berlari-lari kecil. Kubuka gerendel pintu dengan cepat dan segera membuka pintu. Aku melihat seorang gadis yang biasanya selalu tampil cantik dan rapi berubah menjadi gadis mengerikan dengan rambut pirang yang acak-acakkan bahkan terlihat kusut seperti beberapa hari tanpa disisir. Maskaranya telah luntur meninggalkan bekas hitam di sepanjang pipi tirusnya, menandakan ia telah menangis begitu lama. Lipstik merah yang ia kenakan hanya menyisakan sisa warna merah yang memudar di bibirnya, dan mata cokelatnya menatap dengan liar.
            “Hai sayang,” sapanya. Aku menutup hidungku sesaat, ketika nafas berbau alkohol keluar dari mulut Cecil. Aku yakin ia tidak hanya minum 1 jenis minuman beralkohol malam ini, meski aku tak yakin berapa banyak yang berhasil ia tenggak.
            “Ayo masuk, kau perlu tidur.” Cecil berjalan masuk, tetapi langkahnya begitu tak seimbang. Ia hampir terjatuh menabrak meja dekat pintu seandainya aku tak sigap meraih lengan kanannya.
            “Aku tidak ingin tidur Lex. Bagaimana kalau kita minum bir? Ronde kedua, ha?” Cecil berbicara sambil tersenyum-senyum. Aku agak menjauhkan wajahku dari wajahnya lagi, karena jujur aku tak tahan menghirup bau alkohol dari mulut dan tubuhnya.
            “Tidak Cecil, kau harus tidur,” ucapku dengan nada memerintah yang tegas.
            “Oh Alexa sayang, kau tak perlu minum kau hanya menemaniku.”
            “Sekali kubilang tidak, maka tidak Cecil. Jika kau tidak menurut, aku akan menelepon ayahmu untuk menjemputmu sekarang.” Aku membuka pintu kamar tamu saat Cecil memperlihatkan wajah protesnya. Menyebut kata ayah atau ibu adalah ancaman paling mujarab untuk membuat Cecil menurut bahkan dalam keadaan mabuk.
            Aku mendudukkan Cecil di tepi ranjang saat aku mendengar suara langkah kaki di belakangku.
            “Ya Tuhan apa yang terjadi Alexa?” Aku menoleh dan mendapati ibuku berdiri di ambang pintu dengan wajah kaget.
            “Apa aku membangunkanmu, mom?” Aku menatap ibuku, wanita 48 tahun yang masih terlihat cantik bahkan saat kerutan-kerutan di wajahnya tak lagi dapat disembunyikan.
            “Aku mendengar suara seseorang membuka pintu, kupikir kau menyelinap pergi diam-diam.” Ya tentu saja ibu mendengar suara pintu terbuka. Kamarnya berada di lantai 1 dekat ruang tamu, ditambah dengan pendengarannya yang sensitif tentu suara langkah tikuspun bisa ia dengar. “Apakah Cecil mabuk lagi?” Ibu mendekati Cecil dan menatapnya masih dengan wajah kaget meskipun kenyataanya ini bukan pemandangan baru bagi kami.
“Ya begitulah, tapi kali ini berbeda. Dia baru saja putus dengan Todd, karena dia melihat pria itu selingkuh dengan wanita lain.” Ibuku menutup mulutnya tanda bahwa ia sangat terkejut.
“Todd? Bukankah dia laki-laki yang akan bertunangan dengannya?” Aku menganggukkan kepalaku. “Oh betapa malangnya gadis ini, dia pasti sangat menderita.”
“Yap kau benar.” Aku menghela nafas dan menoleh pada Cecil yang ternyata telah terbaring lemas di ranjang. Ia tertidur bahkan tanpa menyadari kehadiran ibuku. “Mom, bisakah aku minta tolong?”
“Apa sayang?”
“Tolong jaga Sofia sebentar, aku akan mengurus Cecil hingga aku bisa memastikan ia tidur dengan nyenyak dan layak.”
“Oh baiklah sayang, kau memang harus mememaninya sekarang.”
“Thanks mom.” Ibuku mengangguk dan berjalan keluar, tapi saat sampai di depan pintu ia berhenti dan membalikkan badan menatapku hangat.
“Aku jadi teringat sesuatu.” Aku menatap ibuku lekat-lekat. “Mungkin hidup tanpa pria memang lebih baik, karena mereka hanya membuatmu sengsara. Bagaimanapun aku tidak ingin kau mengalami apa yang Cecil alami, sayang. Cukup sekali dan semoga tidak terjadi lagi.” Aku menggigit bibir bawahku kemudian tersenyum pada ibuku untuk menenangkannya.
“Aku mengerti mom.” Ibuku balas tersenyum kemudian menghilang di balik pintu.
Aku sepenuhnya mengerti apa yang ibuku bicarakan. Aku tahu bagaimana sakit dan menderitanya hidup ibuku tanpa ayahku, dan hidupku tanpa ayah Sofia. Aku mengusap wajahku setelah memikirkan hal itu lagi, kemudian memusatkan perhatianku pada Cecil. Setidaknya aku perlu membetulkan posisi tidurnya, mengganti bajunya dengan pakaian bersih dan memastikan ia meminum obat penghilang mabuk hingga ia bisa bangun keesokan paginya untuk bekerja.
Cecil sahabat baikku sejak kami duduk di bangku SMP. Rumahnya berjarak beberapa blok dari rumahku. Ia seorang gadis manis dan ceria, meskipun moodnya bisa berubah begitu cepat saat ia merasa ada sesuatu yang salah di sekitarnya. Aku sangat menyukainya, begitu menyukainya hingga beberapa temanku sering menyebutku ‘Si ekor Cecil.’ Dia adalah panutanku dalam hal semangat dan berdandan. Ia mengajariku bagaimana menjadi wanita cantik, tidak hanya dari hati tetapi juga dari penampilan.
Gadis ini selalu membuatku iri dengan kecantikannya, dan bagaimana ia bisa membuat dirinya seperti Miss Universe dengan tangannya sendiri. Begitu banyak laki-laki yang tergila-gila padanya. Cecil tidak hanya memiliki paras yang cantik dengan mata indahnya, tetapi ia juga memiliki tubuh yang seksi seperti model salah satu brand pakaian dalam terkenal. Jadi wajar jika pria manapun akan melirik saat ia lewat di samping mereka. Aku kalah telak dibandingkan pesonanya itu, meskipun harus kuakui setidaknya aku memiliki salah satu aspek yang dimiliki wanita cantik yakni tubuh yang tinggi, bahkan aku lebih tinggi beberapa centi dari Cecil. Oke walau bagaimanapun Cecil tetaplah Cecil, dan aku tetaplah aku. Kami adalah sahabat yang saling membantu saat diperlukan, dan kami menyukai perbedaan di antara kami yang menjadikan persahabatan kami lebih berwarna.
Aku menarik selimut dan menutup tubuh Cecil hingga bagian leher. Aku telah mengganti bajunya dengan sepasang baju tidur milikku, dan membuatnya meminum obat penghilang mabuk secara paksa. Aku bangkit dan mencium keningnya penuh sayang.
“Selamat malam, Cecil. Semoga mimpi indah,” ucapku dengan suara yang begitu lirih. Aku menatapnya sekilas, kemudian mematikan lampu dan meninggalkan ia seorang diri hanyut dalam bunga tidurnya.




to be continued.....