Cast :
- Alexa Anastasia Robins
- Adam Miller
- Sofia Anastasia Robins as Alexa's daughter
- Cecilia Gratton as Alexa's bestfriend
- Mikael Holowitz as Cecil's friend
- Anastasia Kyle as Alexa's mother
- etc
Genre : Romance, Family
Categories : Adult
Rate : +17
Shoot : One
before chapter...
“Selamat malam, Cecil. Semoga mimpi indah,” ucapku dengan suara yang begitu lirih. Aku menatapnya sekilas, kemudian mematikan lampu dan meninggalkan ia seorang diri hanyut dalam bunga tidurnya.
BAB 2
“Sayang, aku akan membeli sesuatu di supermarket sebentar. Kutinggal Sofia di sini,” teriaknya dari ruang tengah.
“Perji saja mom, mataku selalu memperhatikannya,” balasku. Kulihat Sofia sedang asik bermain dengan beberapa bonekanya saat ibuku keluar. Aku tersenyum melihatnya.
Aku menyendokkan bubur ke dalam mangkuk makan Sofia. Bubur yang kubuat pagi-pagi tadi sebelum kutinggal untuk mandi dan berdandan. Aku tidak merasa risih sama sekali memasak di dapur dengan mengenakan setelan kerjaku yang bersih, rambut yang disanggul tinggi dan wajah yang telah dipoles make up minimalis. Aku seorang ibu muda, dan sudah terbiasa melakukan pekerjaan seperti ini. Bagiku memasak sarapan untuk malaikat kecilku adalah saat terbaik dalam kehidupanku, karena aku dapat benar-benar memanjakannya dengan makanan yang kubuat. Lagipula aku tak bisa menemaninya makan siang, bermain atau tidur siang karena aku harus berkutat dengan pekerjaanku hingga sore hari.
“Selamat pagi semuanya.”
Cecil baru saja keluar dari kamar tamu dengan rambut pirangnya yang masih setengah basah. Ia mengenakan salah satu setelan kerja terbaikku yang kuletakkan di ranjang pagi ini, sebuah kemeja biru, blazer, dan celana panjang hitam nampak seksi membalut tubuhnya. Ya kami sudah terbiasa berbagi pakaian bersama sejak dulu termasuk pakaian dalam karena kami memiliki 1 ukuran yang sama. Itu bukan hal yang memalukan lagi bagi kami.
“Hei Sofia, selamat pagi.” Cecil terdengar riang menyapa putri kecilku seakan kejadian semalam tak pernah terjadi. Lewat bahu aku bisa melihatnya menggendong Sofia dengan wajah berseri bahkan berulang kali mencium pipi Sofia.
“Apa kau lapar?,” teriakku dari dapur.
“Sangat, sayang. Jika kau memiki setangkup roti dan segelas susu aku akan sangat berterima kasih.”
“Kemarilah, aku membuat sandwich untukmu.”
Cecil berjalan ke dapur dengan Sofia yang menggelayut di gendongannya. Ia mendudukkan Sofia di kursi makan tinggi dan malaikat kecilku sama sekali tidak protes. Benar-benar anak yang baik. Cecil duduk di kursi sebelah Sofia.
“Aku tidak melihat An, dimana ia pergi?”
“Mom keluar sebentar untuk membeli sesuatu, mungkin sebentar lagi kembali.” Aku meletakkan sebuah piring besar berisi beberapa tangkup sandwich. Cecil menuang susu ke dalam 3 gelas besar.
“Sayang apakah Sofia baik-baik saja?,” teriak ibuku begitu membuka pintu. Itu kebiasaan yang tak bisa ia hilangkan, tak ada salam atau sapaan pagi hanya sebuah teriakan untuk memastikan Sofia tidak bermain seorang diri.
“Dia bersamaku di sini mom.” Ibuku masuk ke dapur.
“Oh selamat pagi, Cecil sayang.” Ibuku menghampiri Cecil dan mengecup kepalanya penuh sayang. Cecil sudah ia anggap seperti putrinya sendiri, terkadang melihat perlakuan ibuku padanya membuatku cemburu.
“Selamat pagi, An.”
“Apa saja yang kau beli mom? Apakah pergi ke supermarket seberang dapat membuat wajahmu begitu berseri seperti itu?”
“Uh sayang, kau tidak tahu apa yang baru saja kuhadapi.”
Ekspresi ibuku mulai serius. Ia benar-benar seorang drama queen sejati. Ia mampu menceritakan sebuah masalah kecil yang biasa saja menjadi begitu dramatis bagi yang mendengarkannya. Ia duduk di samping Cecil sementara aku mengambil tempat di seberang mereka sembari mulai menyuapi Sofia.
“Aku bertemu dengan Mrs Finnigan, si ratu gosip yang wah itu.”
“Wanita berambut putih yang tinggal di sebelah?,” tanya Cecil. Ibuku menggigit sandwichnya sambil mengangguk. Aku melirik ibuku kemudian menyuapi Sofia lagi dan membersihkan noda di sekitar pipinya.
“Kali ini apa yang ia keluhkan? Tukang pipa air? Dokter hewan yang baru menyembuhkan anjing Mrs Wood atau menantunya yang super cantik?,” selaku.
“Lebih parah dari itu, sayang. Ia bercerita tentang tingkah pemilik kos-kosan samping rumahnya.” Aku mengerutkan dahi. “Mr Rainer, kau tahu kan? Dia bilang semalam ia melihat pria tua itu keluar dari mobil seorang gadis muda. Gadis itu sangat cantik, berumur sekitar 25 tahun. Ia yakin tak pernah melihat gadis itu di sekitar daerah ini. Ia menduga gadis itu pacar muda Mr Rainer. Karena penasaran iapun menghampiri gadis itu setelah gadis itu mencium Mr Rainer untuk menanyakan kebenarannya. Dan kau tahu apa yang terjadi, sayang?”
“Tolong tidak usah terlalu mendramatisir mom.” Aku memutar mataku kemudian mulai menyantap sandwichku di sela-sela menyuapi Sofia.
“Ternyata gadis itu anak perempuan Mr Rainer yang baru pindah dari Los Angeles seminggu yang lalu.” Ibuku tertawa lebar dengan mata yang hampir terpejam. “Kalian bisa bayangkan bagaimana ekspresi masam Mrs Finnigan saat itu? Aku yakin 100% ia sangat malu.” Aku dan Cecil hanya tersenyum kecil melihat antusias ibuku yang begitu berlebihan.
“Aku yakin bisa membayangkannya, karena sejujurnya aku juga tidak suka dengan wanita galak itu.” Cecil mengerutkan wajahnya dengan tatapan sebal seakan-akan Mrs Finnigan benar-benar ada di hadapannya.
“Ah ya Cecil, aku ingat saat kau pertama datang kemari dia memarahimu karena membuang sampah sembarangan bukan?”
“Oh terima kasih An karena telah mengingatkan hal menjengkelkan itu. Kalian tahukan bukan aku yang membuang sampah itu, tapi nenek sihir itu tetap memarahiku. Sepertinya ia mempunyai gangguan temperamen yang parah.” Aku tertawa melihat ekspresi jengkel Cecil.
“Tapi dia lebih galak daripada ibumu.”
“Ya kau benar.” Tiba-tiba Cecil membelalakkan matanya. “Oh my god, aku lupa menelepon ibuku.” Ia bahkan menjatuhkan sandwichnya ke piring dengan mulut terbuka lebar. Ya sekarang aku melihat kemiripannya dengan ibuku. Mereka benar- benar ahli mendramatisir situasi. Akhirnya ibuku menemukan pasangan yang sesuatu untuk memainkan drama tragis dalam kehidupannya.
“Aku sudah meneleponnya semalam. Aku bilang kalau kau akan menginap di sini selama beberapa hari karena kau sedang sibuk di rumah sakit.” Cecil bernafas lega kemudian menatapku dengan tatapan penuh syukur.
“Oh sayang aku mencintaimu. Kau selalu bisa diandalkan. Jika kau tidak meneleponnya ia pasti membunuhku saat aku pulang.”
“Aku memang selalu bisa diandalkan.” Kami tertawa bersama, bahkan Sofia ikut tertawa renyah seakan mengerti apa yang sedang para orang dewasa ini bicarakan.
“Oh ya sayang, bisakah kau menolong kami memastikan jadwal dokter Flinch untuk pemeriksaan rutin Sofia besok?,” ucap ibuku sambil memandang Cecil. Sekarang tawa riang telah hilang dari wajahnya berganti dengan ekspresi super serius.
“Tentu saja, sepertinya besok dokter Flinch ada waktu setelah makan siang sekitar pukul 2 dan tak ada jadwal kosong lagi setelahnya hingga seminggu ke depan.”
“Benarkah?,” tanyaku penasaran.
“Setahuku ia akan mengikuti seminar ilmiah di London minggu depan selama 5 hari. Jadi kalian harus tepat waktu besok, dan aku akan memastikan jadwalnya lagi nanti.”
“Terima kasih sayang.” Ibuku mencium kepala Cecil lagi. “Hei lekas bersiap, sudah hampir pukul 7 kalian harus segera berangkat jika tak ingin terlambat.”
Aku membelalakkan mata begitu pula dengan Cecil. Kami segera menghabiskan susu kami. Aku menoleh pada Sofia dan mencoba membersihkan bubur yang mengotori pipinya, tetapi ibu segera meraih tanganku.
“Pergilah biar aku yang urus, sayang.” Cecil telah melesat lebih dulu ke mobilnya dan mengucapkan salam sambil berteriak seperi orang gila.
“Thanks mom.” Aku segera mencium pipi ibuku, kemudian pipi Sofia. “Sampai jumpa, malaikat kecilku. Aku pergi mom.”
“Hati-hati sayang.” Aku berlari ke ruang tengah, meraih flipbag, coat dan kunci mobilku. Aku melirik ke Sofia sekilas sambil tersenyum sebelum keluar melewati pintu.
Tak butuh waktu lama untukku sampai di tempat kerjaku yang hanya berjarak 1 km dari rumah. Setelah memarkirkan mobil di gedung seberang, aku segera berlari memasuki Belle Boutique. Di sinilah aku bekerja selama 8 bulan terakhir sejak aku lulus kuliah. Aku mencintai tempat ini, sama seperti aku mencintai desain dan Sofia. Aku bekerja sebagai seorang desainer khusus gaun pengantin dan pesta di butik ini.
Bosku bernama Lucinda Evans, seorang wanita setengah Inggris yang sangat elegan dan cantik meski ini ia memasuki usia ke-43 tahunnya. Ia seperti ibuku di tempat kerja. Ia sangat baik, dan memberiku banyak kelonggaran yang tak ia berikan pada pegawainya yang lain. Bukan karena aku diistimewakan, tetapi karena ia memahami posisiku sebagai single parent dengan seorang putri berumur 1 tahun yang butuh banyak perhatian dan sebagai konsekuensinya aku harus bekerja maksimal tanpa kekurangan sedikitpun. Aku bersyukur bertemu banyak orang yang menyayangiku di dunia ini termasuk Lucy salah satunya.
Wanita itu telah menunggu di ruang kerjaku sembari mengamati sebuah gaun pengantin berwarna merah yang terpasang di mannequin, gaun yang sedang kukerjakan untuk pelanggan VVIP kami. Ia menopang dagu dengan tangan kirinya, pertanda ia sedang berpikir. Keheningan terasa sedikit menegangkan, namun kucoba untuk tetap tenang.
“Apakah aku terlambat?,” tanya gugup berdiri di belakangnya.
“Oh tidak sayang, aku hanya ingin memastikan pekerjaanmu berjalan dengan lancar.” Lucy berbicara tanpa menoleh ke arahku. Perlahan tanpa menimbulkan suara, kuletakkan flipbag dan coat-ku di kursi seberang dekat meja kayu besar yang berisi banyak sketsa di atasnya. “Berapa lama lagi gaun ini akan selesai?”
“Hari ini kupikir, aku hanya perlu memasang beberapa renda dan kristal di bagian dada seperti keinginan Miss Bennet.”
“Bagus sayang, pekerjaanmu sangat bagus,” ucapnya sambil tersenyum puas. Ia berjalan ke arahku. “Jadi ini pekerjaan terakhirmu bulan ini bukan?”
“Ya kupikir begitu jika tak ada pemesanan lagi. Apakah ada pesanan gaun pengantin baru?”
“Tidak sayang, kau bisa bernafas lega selama akhir bulan ini. Jadi kau bisa menyelesaikan gaun pesta yang sudah menunggumu itu.”
Lucy menunjuk 3 deret mannequin tak jauh dari mannequin dengan gaun pengantin merah. Ketiga mannequin itu telah dipakaikan gaun pesta, sebuah long dress berwarna hitam dengan potongan kerah V yang sangat seksi, sebuah mini dress berwarna ungu dari bahan satin bertumpuk-tumpuk pada bagian pinggang, dan sebuah mini fit dress berwarna biru muda dari bahan lace. Aku tersenyum melihat ketiga gaun pesta yang hampir selesai itu.
“Tentu saja, itu tidak akan memakan waktu lama.”
“Kerjamu sangat bagus, Lex dan aku sangat berterima kasih padamu sayang. Ketiga pelanggan kita yang memesan baju pengantin beberapa waktu yang lalu sangat puas dengan hasil kerjamu. Mereka sangat menyukai gaunnya, dan sangat berterima kasih padamu.”
“Aku juga senang bisa membuat gaun indah yang membuat orang lain bahagia, Lu.” Aku tersenyum lebar, sebuah senyum yang tulus dari dalam hatiku. Itulah yang menjadi alasanku mengapa aku begitu menyukai dunia fashion, dunia desain, karena aku ingin membuat pakaian yang indah dan membuat orang lain bahagia.
Lucy memelukku, sebuah pelukan singkat namun hangat.
“Kau sudah bekerja keras untuk Sofia sayang. Aku yakin ia pasti bangga memiliki ibu sepertimu.”
“Terima kasih untuk pujiannya, Lu.” Lucy mengangguk. “Oh ya Lu, besok aku ingin pulang cepat. Aku harus membawa Sofia ke rumah sakit untuk pemeriksaan rutin.”
“Tentu saja sayang, aku masih ingat saat kau mengatakannya kemarin. Semoga semuanya baik-baik saja.”
“Terima kasih Lucy.” Lucy mengangguk kemudian berjalan keluar ruang kerjaku. Aku tersenyum melihat Lucy yang selalu pengertian dan baik hati.
Aku mengambil beberapa peralatan kerjaku dan mulai menyibukkan diri dengan pekerjaanku yang harus kuselesaikan. Pada tengah hari, aku telah berhasil menyelesaikan gaun pengantin merah pesanan Miss Bennet. Aku menatap gaun itu dengan bangga. Satu lagi karya telah berhasil kuselesaikan dengan baik. Gaun pengantin yang sebagian besar berbahan satin bridal itu terlihat begitu elegan di bawah cahaya lampu ruang kerjaku. Gaun dengan kemben pada bagian dada yang bertabur kristal dan renda-renda berbentuk bunga sebagai motif timbul itu terlihat semakin cantik dengan bagian bawah yang mengembang dan bertumpuk-tumpuk dengan layer terakhir dari silk lace.
Gaun itu telah mempesona mataku seakan aku bukanlah orang di balik terciptanya gaun indah tersebut. Ada sedikit perasaan getir terselip di hatiku saat memperhatikan gaun itu lebih lama. Aku telah membuat berbagai macam gaun pengantin, mulai dari gaun tradisional hingga modern, gaun termurah hingga termahal, tetapi aku belum pernah sekalipun mengenakan sebuah gaun pengantin dalam acara pernikahan yang sesungguhnya.
Memikirkan hal itu membuatku teringat pada putri cantikku, Sofia. Perasaan menyesal, marah, sekaligus sedih melingkupi hatiku. Sofia adalah putri yang sangat kucintai meskipun ia lahir karena sebuah kecelakaan yang tak kuinginkan. Aku terlalu gegabah dan tak bisa mengendalikan diri saat itu menyebabkan semua ini terjadi. Aku menyesali perbuatanku waktu itu, tetapi di satu sisi aku bersyukur memiliki Sofia saat ini. Tanpa ia entah seperti apa aku sekarang. Mungkin aku menjadi seorang gadis kutu buku yang mengenakan kacamata dan membawa setumpuk buku di tas kemanapun aku pergi atau justru aku berubah menjadi gadis nakal yang keluar-masuk kamar pria berbeda setiap harinya. Oh entahlah.
Aku menghela nafas. Aku tidak mau memikirkannya lagi. Aku bahkan tidak peduli orang berbicara apa tentangku dan Sofia. Aku tidak peduli mereka terus mencemoohku sebagai gadis kotor yang mengandung anak haram di luar pernikahan. Aku tidak peduli bagaimana mereka melihatku dengan tatapan jijik, seakan aku seorang pelacur yang berhasil meniduri pacar atau suami mereka. Bagiku Sofia adalah segalanya, dialah hidupku, nafasku, kebahagiaanku, senyumku, alasanku tetap hidup, alasanku tetap berdiri, dan malaikat kecil yang menjadi jawaban atas segala doaku. Tuhan mungkin tidak adil padaku awalnya, tetapi ia begitu menyayangiku sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar