Cast :
- Alexa Anastasia Robins
- Adam Miller
- Sofia Anastasia Robins as Alexa's daughter
- Cecilia Gratton as Alexa's best friend
- Mikael Holowitz as Cecil's friend
- Anastasia Kyle as Alexa's mother
- etc
Genre : Romance, Family
Categories : Adult
Rate : +17
Shoot : One
before chapter...
Oh Tuhan, hancurkan saja aku saat ini. Aku benar-benar ingin melarikan diri darinya. Aku tidak ingin berhadapan dengan Adam dalam emosi seperti ini. Meskipun sejujurnya sosok Adamlah yang sering mengisi pikiranku dan membuatku menjadi gelisah. Terkutuklah aku hari ini.
BAB 4
Aku duduk di hadapan pria yang telah 2 tahun tidak pernah kutemui. Aku pikir dia sedang berada jauh di Los Angeles sana, tetapi tiba-tiba aku mendapati dia duduk di hadapanku, tersenyum sambil menangkup cangkir kopinya yang masih mengepul. Kami duduk di salah satu meja kafetaria rumah sakit. Ia memaksa dan menarik tanganku kemari, ia bilang ingin mengobrol denganku. Lagi-lagi seperti orang bodoh aku mengikutinya tanpa protes.
Aku meremas-remas kedua tanganku di bawah meja. Aku tak berani menatap matanya secara langsung. Adam pria yang cerdas, dia dengan cepat dapat membaca pikiranku lewat mata jika aku terus menatapnya.
“Kau pasti kaget melihatku di sini bukan?,” tanyanya dengan suara bariton yang belum berubah sejak terakhir kami bertemu.
“Ya.” Aku berusaha bersikap tenang dan berjuang mengendalikan kewarasanku. Kuberanikan diri menatapnya, tidak tepat ke matanya tetapi ke dahinya. “Bukankah kau di Los Angeles? Kenapa tiba-tiba ada di sini?” Aku tak bisa menyembunyikan rasa penasaranku.
“Aku memang tinggal di Los Angeles, tapi itu sebulan yang lalu Alexa. Rumah sakit tempatku bekerja dulu merekomendasikanku untuk pindah kemari. Karena ini New York, tempat dimana dulu aku pernah menimba ilmu jadi aku menerimanya, dan di sinilah aku sekarang.” Aku mengigit bibir bawahku, dan mencoba membangun obrolan dengan sisa-sisa pikiran normalku.
“Akhirnya kau menjadi dokter yang sesungguhnya.”
“Ya begitulah, menjadi seorang dokter bedah seperti yang kuinginkan. Lalu bagaimana denganmu Lex, berhasil menjadi desainer sukses?” Lagi-lagi Adam tersenyum. Aku sungguh tak ingin melihat senyumnya saat ini, karena itu membuat perasaanku semakin kacau.
“Aku belum sukses meskipun aku sudah menjadi desainer seperti yang kuinginkan.”
“Lalu dimana kau bekerja?”
“Aku bekerja di sebuah butik tak jauh dari rumah.”
Aku terdiam menunggu Adam menanyaiku lagi, tetapi hingga beberapa detik berlalu ia tak mengucapkan sepatah katapun. Ia hanya menatapku, dan ini membuat suasana semakin tidak nyaman. Kuraih cangkir kopiku dan meminumnya perlahan.
“Kau tidak berubah. Kau masih sama seperti Alexa yang kukenal.”
Aku menatap matanya dari balik cangkir kopi. Dia menatapku dengan tatapan tajam dan serius. “Kau masih cantik, Alexa.” Aku hampir tersedak kopiku sendiri mendengar ucapannya barusan. Aku menghentikan aktifitas minumku, dan menurunkan cangkirnya kembali ke meja.
“Terima kasih, kau juga masih sama.”
“Jadi apa yang kau lakukan di sini? Aku lihat kau berjalan dari area perawatan anak-anak, apakah kau menjenguk anak teman atau saudaramu?” Aku tercekat mendengar pertanyaan Adam. Ini mengingatku pada ibu dan Sofia. Aku menelan ludahku, tak tahu harus menjawab apa.
“Mengantar.” Jadi kata itulah yang mampu kuucapkan.
“Oh mengantar.”
Aku ingin mati saat itu juga. Sofia, aku mengingat Sofia dan membuatku seperti seorang penjahat terkeji di dunia. Aku meninggalkannya bersama ibu dimana seharusnya aku yang menemaninya, sementara aku duduk di sini bersama pria yang selama 2 tahun tak pernah kutemui. Aku benar-benar seorang ibu yang jahat.
Getar ponselku membuatku tersadar.
“Lalu…” Aku mengangkat tanganku untuk memotong pembicaraan Adam. Aku bersyukur pada panggilan ibu yang memutus kegilaan ini.
“Maaf,” ucapku pada Adam sambil mengangkat ponselku. Ia mengangguk. Aku berjalan agak menjauh darinya. Aku segera mengangkat panggilan ibu.
“Sayang, kau dimana? Kami mencarimu sejak tadi, tapi kau tak ada di lobi,” ucap suara ibuku di seberang dengan penuh kekhawatiran. “Kau baik-baik saja kan?” Aku menghela nafas.
“Aku baik-baik saja mom. Aku hanya pergi ke kafetaria sebentar untuk minum. Aku akan segera ke sana, tunggu aku.”
“Baiklah, Sofia sudah mulai gelisah menunggumu.”
“Aku mengerti mom.”
Kututup teleponku dan berjalan ke meja lagi.
“Maaf Adam, aku harus segera pergi. Mereka sudah menungguku.” Kuraih saddle bag-ku yang kuletakkan di atas meja tanpa duduk terlebih dahulu. Adam bangkit dari tempat duduknya.
“Baiklah, maaf aku menyita waktumu.”
“Tidak masalah.”
“Mau kuantar ke depan?” Aku menggeleng dengan segera.
“Tidak perlu, tidak usah repot-repot, kau pasti sibuk.” Ia mengangguk pertanda mengerti.
“Aku pikir aku tidak bisa menghalangimu pergi Alexa, meskipun aku masih ingin mengobrol denganmu.”
“Aku minta maaf.”
“Tidak perlu meminta maaf. Well, senang bisa bertemu lagi denganmu dan maaf untuk pelukan tadi.” Aku mengangguk.
“Sampai jumpa, Adam.”
“Sampai jumpa lagi, Alexa.”
Aku berjalan meninggalkan Adam tanpa menoleh lagi. Aku merasa lega sekaligus berat. Aku lega karena tidak harus menjawab pertanyaannya lagi yang terasa seperti sebuah interogasi, tetapi entah kenapa berat meninggalkannya dalam suasana seperti ini. Aku mencoba menguatkan diriku sendiri dan berusaha untuk tidak memikirkan apa yang barusaja terjadi.
“Alexa.” Aku mendengar seseorang memanggilku. Aku menoleh ke belakang dan melihat Adam berlari ke arahku. Ia berhenti tepat di hadapanku dengan nafas terengah-engah. Ia mengambil sesuatu dari kantung dalam jasnya. Ia menyodorkan secarik kartu nama padaku. Aku menatap kartu nama di tangannya kemudian beralih menatapnya.
“Aku ingin bertemu lagi denganmu saat kau ada waktu luang, jadi tolong hubungi aku.”
Aku menatapnya sesaat, kemudian kembali menatap kartu nama yang disodorkannya. Dengan ragu-ragu kuambil kartu nama itu dari tangannya.
“Oke,” jawabku. Adam tersenyum dan menarik nafas panjang. Ia akan mengatakan sesuatu saat seorang perawat tiba-tiba menghampirinya.
“Dokter Miller saya mencari anda sejak tadi. Kamar 12A dalam keadaan darurat, harus segera masuk ruang operasi dalam 15 menit,” ucap perawat itu dengan wajah panik tanpa menoleh padaku.
“Aku mengerti. Segera siapkan ruang operasi, minta suster kepala untuk menyiapkan seorang ahli anestesi, 2 orang dokter bantu, dan 2 orang perawat. Aku akan di sana dalam 10 menit.” Adam terlihat begitu serius, dan teliti dalam mengucapkan setiap instruksinya. Ini mengingatkanku pada waktu dulu, seperti inilah Adam yang kukenal.
“Baik dokter.” Perawat itu pergi. Adam kembali menatapku.
“Aku harus pergi sekarang,” ucapnya padaku.
“Pergilah.”
“Aku harap kau segera meneleponku, sampai jumpa lagi Alexa.” Adam berlari menjauh dariku dan aku hanya menatapnya dalam diam.
~ ~ ~
Aku duduk di dalam mobil, di kursi penumpang belakang sambil menyusui Sofia. Ibu dengan tenang mengambil alih posisi kemudi untuk menggantikanku. Sofia memejamkan matanya setelah merasa kenyang. Aku menyelimutinya dan membetulkan posisinya dengan hati-hati. Ia sama sekali tak terganggu dengan suara deru mesin mobil di jalanan. Ia begitu tenang dan nyenyak di pelukanku. Melihat wajah Sofia, membuatku tersenyum. Kemudian bayangan Adam muncul di pikiranku.
Aku mengusap wajahku dengan satu tangan yang bebas. Aku sedang mencoba menyadarkan diriku sendiri untuk tidak mengingat Adam saat ini. Kupejamkan mataku sesaat mencoba mengumpulkan keping demi keping kewarasanku, memusatkan perhatianku sepenuhnya hanya untuk Sofia. Meskipun kenyataannya itu sangatlah sulit, setelah apa yang terjadi beberapa saat lalu.
Adam bukan pria biasa. Dia seseorang yang berarti dalam hidupku, dalam masa laluku. Dia pria yang menjadi bagian terkelamku. Dia pria yang kukagumi karena kecerdasannya. Dia pria yang kutinggalkan tanpa pesan setelah malam terjadinya kecelakaan itu. Dia pria yang menyita pikiran gilaku selama 2 tahun terakhir sekaligus ingin kulupakan. Seseorang yang memiliki rambut cokelat tembaga dan mata abu-abu sama seperti putriku. Dialah pria yang mengambil kesucianku yang bahkan mungkin tidak ia ingat. Dialah yang membuat Sofia hadir ke dunia. Dia ayah putriku, malaikat kecilku, Sofiaku tersayang.
Aku tak kuasa lagi membendung air mata yang telah kutahan selama setengah jam ini. Aku menangis, menangis di dalam mobil dengan Sofia berada di pelukanku. Sesuatu yang paling kutakutkan akhirnya terjadi. Aku tak pernah membayangkan akan terjadi secepat ini. Aku takut bertemu lagi dengan Adam sekaligus membencinya dalam waktu yang sama, karena aku tahu aku tidak bisa memberitahukan kebenaran Sofia padanya.
Aku terus menangis dan dapat mendengar isak tangisku sendiri dengan jelas.
“Sayang, kau baik-baik saja? Apa yang terjadi padamu?,” tanya ibuku dengan wajah khawatir.
“Aku baik-baik saja mom,” ucapku dengan nada terbata-bata di sela tangisku yang tidak mau berhenti. Aku benar-benar ingin mengutuk diriku sendiri. Aku tidak mau menangis di hadapan ibuku dan Sofia. Aku telah berjanji tidak akan menangis di hadapan mereka. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?
Ibu menepikan mobil dengan cepat. Ia bergegas turun dari mobil dan pindah ke kursi belakang. Ia menangkup wajahku yang telah basah penuh air mata. Aku menggigit bibir bawahku untuk mereda suara isakanku agar tidak membangunkan Sofia.
“Oh sayang, apa ini karena kunjungan tadi? Aku minta maaf, lain kali aku akan pergi sendiri dan tidak akan memaksamu untuk ikut.” Aku menggeleng mencoba meyakinkannya, ini bukan karena hal itu, tetapi aku juga tidak bisa mengatakan yang sesungguhnya.
“Bukan mom, aku baik-baik saja. Aku tidak apa-apa.”
“Oh sayang.” Ibu menarik kepalaku dan menyandarkan di dadanya. Ia memelukku dengan erat, membiarkanku merasakan kehangatannya. Aku menangis di dada ibuku setidaknya selama lebih dari setengah jam. Iapun memutuskan memanggil sopir pengganti untuk menyetir, sementara ia duduk di samping sambil memeluk dan menenangkanku.
Aku mencintai ibuku lebih dari apapun. Dia salah seorang yang selalu hadir di masa-masa tersulitku. Di saat aku mengetahui bahwa aku mengandung Sofia untuk pertama kalinya, saat aku mengalami kehamilan trisemester pertama yang begitu menyiksa, saat aku melahirkan Sofia di rumah sakit secara normal, dan saat-saat yang lain ia selalu ada. Sekarangpun aku membutuhkannya, membutuhkan ia lebih dari siapapun. Aku butuh seseorang yang menenangkanku, menyemangati, mendorongku untuk bangkit dan mengembalikan kewarasanku. Di satu sisi aku harus mendorong keluar ingatan yang membuatku menggila.
to be continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar