Desember 10, 2015

[FICTION] Because Of You #5


Cast :

  • Alexa Anastasia Robins
  • Adam Miller
  • Sofia Anastasi Robins as Alexa's daughter
  • Cecilia Gratton as Alexa's bestfriend
  • Mikael Holowitz as Cecil's friend
  • Anastasia Kyle as Alexa's mother
  • etc

Genre : Romance, Family
Categories : Adult
Rate : +17
Shoot : One

before chapter...
Aku butuh seseorang yang menenangkanku, menyemangati, mendorongku untuk bangkit dan mengembalikan kewarasanku. Di satu sisi aku harus mendorong keluar ingatan yang membuatku menggila.


BAB 5

Aku membuka lemari pakaian Sofia, mencari sebuah kaus, celana panjang, kaus kaki, jaket bulu tebal, topi rajut, dan sepasang sepatu boots berwarna pink yang sangat lucu. Di ranjang ibu sedang menghanduki tubuh Sofia yang basah setelah acara mandi pagi yang menyenangkan. Sofia tertawa-tawa riang saat ibu menggodanya dengan memakai topi Sofia yang terlalu kecil untuk ukuran kepalanya sembari bernyanyi riang. Aku tersenyum melihat tingkah konyol ibu yang hanya ia tunjukkan di hadapan cucu dan anak-anaknya. Ibu selalu bisa membuat Sofia tertawa lebar, bahkan saat aku tak bisa melakukannya.

Aku menghampiri mereka dan meletakkan baju Sofia. Ibu duduk di sebelahku dan mulai membedaki tubuh Sofia.
  “Kau akan pergi kemana hari ini, sayang?,” tanya ibuku sembari memakaikan pakaian dalam Sofia. Sementara tanganku sibuk membantunya.
  “Central park, mom. Sofia butuh menghirup udara segar di pagi hari, tidak hanya udara pengap di rumah ini.” Ibuku mengerutkan keningnya mendengar ucapanku, membuatku tersenyum jahil. “Aku bercanda mom.”
  “Kau yakin ingin pergi berdua saja? Haruskah kubatalakan rencanaku hari ini?”
  “Tidak perlu mom, semalam Cecil menelepon. Ia akan bergabung dengan kami. Dia juga sedang butuh hiburan.”
  “Baguslah kalau begitu, dua orang gadis merana tanpa pria bergabung menjadi satu untuk menikmati udara di Central park. Aku yakin itu akan menjadi pemandangan yang luar biasa bagi pria lajang yang melihat kalian,” goda ibuku.
Aku yakin ia sedang membalas candaanku tadi. Aku memutar mataku
  “Mom, aku bukan gadis lagi. Lagipula pria lajang mana yang akan tertarik dengan wanita yang memiliki putri berumur 1 tahun, di saat ia juga tak cantik? Kau bermimpi mom.” Aku memakaikan topi rajut buatan ibu ke Sofia. Kemudian meraih tubuh mungilnya dari tangan ibu.
  “Jangan berkata seperti itu sayang, kau cantik, baik, dan mandiri. Jika ada pria yang tidak menyukaimu berarti mereka bodoh. Lagipula kau tidak tahu apa yang akan terjadi padamu nantinya. Jangn mendahului takdir, oke?” Aku hanya mengangguk sekenanya. Aku tidak mau lagi berdebat dengan ibu tentang masalah ini.

Aku berdiri sembari menggendong Sofia. Kuraih tas jinjing yang telah disipakan ibu sebelumnya. Bisa kutebak isi di dalamnya tak lain keperluan Sofia seperti baju ganti, popok, susu, camilan dan sebagainya. Ibuku selalu teliti jika menyangkut keperluan Sofia.
  “Mari pergi.”

Kami keluar dari rumah bersama ibu di sampingku. Ia tak lepas menggoda Sofia bahkan hingga Cecil menghentikan mobilnya di depan pintu gerbang.
  “Common ladies, Central park sudah menunggu kita,” teriak Cecil dari dalam mobilnya. Hari ini ia terlihat cantik mengenakan navy blue swaeter, skinny jeans berwarna hitam dan ankle boot 3 cm yang sayangnya belum dapat membuatnya menyeimbangi tinggi badanku meski aku hanya mengenakan flat shoes. Dengan sigap Cecil membuka pintu penumpang depan dari dalam dan menerima tas jinjingku. Ia meletakkan tas itu di kursi penumpang belakang.
  “Kau yakin tidak ada yang ketinggalan sayang?,” tanya ibuku sembari mengelus pipi Sofia.
  “Kami hanya ke Central park mom, jadi tidak akan membutuhkan banyak barang. Kami pergi dulu.” Aku tersenyum menenangkannya. Ibu selalu khawatir jika aku pergi keluar membawa Sofia tanpanya. Saat seperti ini aku merasa ibu Sofia bukanlah aku, tapi ibuku sendiri. “Sofia, ucapkan selamat tinggal pada nenek.”

Sofia tersenyum lebar saat aku mengangkat tangan kanannya untuk melambai pada ibuku.
  “Nenek… Nenek…,” ucapnya lucu. Ibu tertawa melihatnya.
  “Sampai jumpa malaikat kecil, selamat bersenang-senang.” Aku beranjak memasuki mobil Cecil. “Ingat jangan memberi sembarang makanan pada Sofia, Alexa.”
  “Ya mom, aku ingat itu.” Kami melambai pada ibu saat Cecil menyalakan mobilnya.
  “Sampai jumpa, An,” teriak Cecil saat mobil mulai melaju meninggalkan area rumahku. “Ini seperti adegan dalam film. Seorang ibu mengantar putri dan cucunya yang akan pergi jauh menyeberangi samudera.” Cecil tertawa terbahak-bahak. Kubungkam tawanya itu dengan sebuah pukulan keras di lengannya hingga ia meringis kesakitan.
  “Itu tidak lucu, Cecil.”
  “Oh baiklah, aku akan pura-pura melupakannya.” Kami tersenyum bersama.

Setengah jam kemudian kami sudah ada di area Central park. Aku menggenggam tangan kecil Sofia yang berjalan sendiri dengan perlahan, sementara Cecil di sampingku membawa tas jinjing keperluan Sofia. Sesekali Sofia hampir terjatuh karena tersandung kakinya sendiri. Namun dengan antusias kusemangati ia untuk terus berjalan. Melihat Sofia berjalan sendiri dengan kakinya membuatku bahagia. Aku beruntung karena tak pernah melewatkan tumbuh kembangnya selama ini. Aku yakin ia akan tumbuh sehat dan baik.

Tak beberapa lama kemudian kami menemukan tempat yang tepat untuk piknik kecil kami. Aku membantu Cecil menyiapkan tempat piknik kami, sebuah karpet cukup besar telah terhampar di tanah berumput. Cecil menata beberapa camilan yang dibawanya dari rumah yang tentu saja buatan ibunya seperti salad buah, carrot cake kesukaannya, jus jeruk, dan sandwich isi tuna panggang yang sangat menggoda. Aku juga membuka tas jinjingku dan mengeluarkan camilan dan Sofia. Aku juga menemukan burito buatan ibu yang sepertinya khusus ia siapkan untukku.

Aku melirik ke arah Sofia yang sedang asik bermain bola plastiknya tak jauh dariku. Ia berlari-lari kecil dengan kaki mungilnya sembari mengejar bola yang terus melarikan diri dari tangannya.
  “Guk-guk… Guk-guk…,” ucap Sofia sambil menunjuk seekor bulldog yang baru lewat di depannya. Sepertinya ia menirukan gong-gongan anjing itu. Aku dan Cecil tertawa mendengarnya.
  “Begitukah suara anjing, sayang?,” ucapku padanya. Sofia tersenyum dan pipinya bersemu merah, ia mengangguk-anggukan kepalanya beberapa kali. Ia kembali sibuk dengan bolanya saat aku dan Cecil duduk sambil menghirup nafas panjang. Di sekitar kami banyak juga orang yang sedang berpiknik, sungguh pemandangan yang menyenangkan.
  “Aku sungguh tidak menyangka Sofia sudah 1 tahun, rasanya seperti baru kemarin aku melihat ia dipelukan An sesaat setelah ia lahir,” ucap Cecil memandang Sofia. Aku mengangguk.
  “Kau benar, aku juga belum bisa melupakan bagaimana ia menangis untuk pertama kalinya setelah lahir ke dunia. Tapi begitulah anak-anak bukan? Mereka tumbuh dengan cepat, dan seakan dalam hitungan detik mereka akan menjadi dewasa dan memulai hidup mereka sendiri. Tanpa disadari kita juga akan cepat menua.”
  “Melihat kau dan Sofia, rasanya aku juga ingin memiliki seorang anak, Lex. Aku ingin memiliki seseorang yang bisa menemani di saat apapun, dan bisa kuandalkan saat aku tua nanti.”

Aku menoleh menatap Cecil. Aku tahu ia belum bisa melupakan Todd, melupakan pria yang itu pasti sulit untuknya. Apalagi mereka telah berpacaran lebih dari 3 tahun, bukan waktu yang sebentar untuk menjadikan moment-moment yang mereka alami menjadi sesuatu yang istimewa.

Sofia berlari ke arahku, kuraih tubuh mungilnya dan kududukan di pangkuanku. Aku mengambil sebotol susu untuknya, dan ia mulai meminum susu itu dengan antusias. Aku kembali menatap Cecil.
  “Kau yakin baik-baik saja, Cecil?”
  “Tidak bisa dibilang baik, Lex hanya perlu waktu saja.”
  “Sudah mencoba bicara dengan Todd? Kupikir kalian perlu bicara, walau bagaimanapun kalian harus menjelaskan ini pada orang tuamu bukan?”
  “Aku belum bertemu dengannya, tapi aku sudah mengatakannya pada ibu dan ayah. Mereka tidak banyak berkomentar, mungkin mereka pikir akhirnya apa yang mereka khawatirkan selama ini terjadi juga. Aku yang dengan bodohnya tidak mempercayai ucapan mereka merasakan akibatnya.” Cecil mengusap wajahnya. “Huh Lex, aku merasa sangat malu berhadapan dengan mereka. Sejak awal mereka sudah memperingatkanku bahwa Todd bukan pria baik, tapi aku bersikeras tetap ingin menikah dengannya. Aku sangat bodoh.”

Kuulurkan tanganku ke punggung Cecil dan mengusapnya naik turun dengan lembut.
  “Kau tidak bodoh, Cecil. Kau gadis yang cantik, kau juga baik. Kau hanya sedang tidak beruntung bertemu dengan laki-laki seperti Todd. Kau tidak perlu malu dengan orang tuamu. Mereka menyayangimu, mereka tahu kau terluka karena itu mereka tidak menyinggung masalah ini lagi. Masih banyak pria baik di luar sana, percayalah padaku Cecil.”
  “Aku harap juga begitu, Lex. Aku ingin menemukan seseorang yang benar-benar mencintaiku apa adanya, kemudian kami menikah dan memiliki anak. Membayangkannya saja sudah membuatku bahagia.” Aku tersenyum membayangkan Cecil bersama suami dan anaknya, sungguh gambaran yang luar biasa.
  “Kau pasti akan mendapatkannya segera. Kenapa kau tidak mengencani salah satu dokter di rumah sakitmu saja, Cecil? Aku yakin beberapa di antara mereka belum menikah, tampan, kaya, dan seksi.” Cecil tertawa mendengar ucapanku.   “Tidak semua dokter tua dan berkepala botak kan?”

Mengucapkan kata dokter mengingatkanku pada Adam, tapi segera kutepis pikiran itu jauh-jauh. Tolong jangan mulai lagi Alexa, dan merusak hari baikmu ini.
  “Sepertinya itu ide yang bagus, tapi jika itu terjadi aku tak yakin dapat mengontrol diriku untuk tidak melakukan hal-hal aneh dengannya di tempat kerja. Oh itu benar-benar menggelikan, apalagi jika rekan satu kerjaku memergokinya.” Kami tertawa bersama.
  “Kau gila, Cecil.”
  “Ayolah sayang, aku hanya mencoba realistis. Aku muda dan bergairah.”
  “Dan kau seksi,” tambahku sambil menepuk pundaknya. “Jika itu terjadi jangan lupa menceritakannya padaku, karena hari berikutnya aku akan meminta salah satu temanmu untuk menjadi mata-mataku.”
  “Dasar protektif, katakan saja kalau kau cemburu.”
  “Selalu sayang,” ucapku menirukan gaya bicaranya yang seksi. Aku mengelus kepala Sofia yang menyender pada dadaku dan masih sibuk dengan botol susunya. Cecil ikut mengelusnya juga.
  “Jadi sekarang giliranmu untuk bercerita.”
  “Kau mengharapkan aku bercerita apa? Aku tidak punya cerita yang menarik, lagipula kau tahu semua tentang Sofia.”
  “Oh ayolah Lex, pertanyaan sama yang selalu membuatku penasaran 2 tahun ini. Kau tahu apa itu.”

Aku menoleh ke wajah Cecil. Kutatap matanya dengan tajam. Aku sadar tidak ada senyum di wajahku. Aku mengerti maksud perkataannya. Ini tentang sesuatu yang kusembunyikan dari semua orang, kebenaran ayah biologis Sofia. Topik ini sangat sensitif bagiku, apalagi setelah pertemuanku dengan Adam kemarin.
  “Aku tidak ingin membicarakannya.”
  “Alexa, sampai kapan kau akan terus tutup mulut, ha? Apa yang sebenarnya terjadi sampai kau menutupi identitas pria itu? Apa dia mengancammu?”
  “Tidak Cecil, ini adalah keputusanku. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak mengatakannya pada siapapun, mungkin juga tidak pada Sofia.”
  “Kau yakin? Tapi Sofia berhak tahu Lex, dia ayahnya kau ingat itu.”
  “Cecil, aku mohon jangan membicarakan masalah ini.” Aku menatap Cecil dengan wajah sangat memohon. Aku merasa belum siap mengatakannya pada siapapun.
  “Lex, aku sahabatmu dan kau sahabatku. Aku menceritakan semua kehidupanku padamu, rahasia-rahasia kecilku, kebiasaan memalukanku, bahkan peristiwa kelamku. Aku juga menceritakan betapa busuknya Todd padamu, dan lihat aku sekarang, aku merasa bebas seakan semua bebanku telah menguap.”

Aku melihat pancaran mata yang begitu hangat dari kedua mata Cecil. Hal itu membuatku tersentuh. Aku tahu ia sedang mengkhawatirkanku.
  “Aku ingin kau melakukan hal yang sama Lex. Bukan karena aku begitu ingin tahu rahasiamu, tetapi aku ingin sedikit mengurangi bebanmu. Kau selama ini selalu memendam masalahmu sendiri, membuatmu tersiksa seorang diri. Aku tidak bisa melihatmu seperti ini terus.”

Cecil meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat. Oh tidak, dia akan menggunakan senjata ampuhnya padaku. Ia menatapku dengan mata berkaca-kaca, tapi kali ini itu terasa begitu tulus.
  “Oh Cecil, kumohon hentikan semua ini.”
  “Katakan saja apa yang bisa kau katakan, aku hanya akan mendengarkannya. Tolong jangan membuat dirimu semakin menderita sayang.” Aku menatapnya dalam, dan nampaknya kali ini aku harus menyerah. Ya Cecil memang sahabatku, seharusnya aku bisa sedikit membagi lukaku padanya saat ia tanpa ragu-ragu menumpahkan semua lukanya padaku.
  “Aku tidak tahu harus memulainya dari mana, aku bahkan tidak bisa menyebutkan namanya.”
  “Tidak usah menyebut namanya jika tidak bisa, anggap saja pria itu Mr A, Mr B atau Mr C. Mulailah dengan kejadian malam itu, malam dimana kecelakaan itu terjadi.”

Aku menghembuskan nafas. Membuka kembali memori saat itu rasanya seperti membuka luka yang hampir sembuh. Sangat menyakitkan, dan melelahkan. Kupaksakan diriku untuk kembali membuka memori otakku yang selama 2 tahun ini tak pernah kusentuh. Meski ragu, perlahan aku mulai menceritakannya pada Cecil.

to be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar