Cast :
- Alexa Anastasia Robins
- Adam Miller
- Sofia Anastasia Robins as Alexa's daugther
- Cecilia Gratton as Alexa's bestfriend
- Mikael Holowitz as Cecil's friend
- Anastasia Kyle as Alexa's mother
- etc
Genre : Romance, Family
Categories : Adult
Rate : +17
Shoot : One
before chapter...
Bagiku Sofia adalah segalanya, dialah hidupku, nafasku, kebahagiaanku, senyumku, alasanku tetap hidup, alasanku tetap berdiri, dan malaikat kecil yang menjadi jawaban atas segala doaku. Tuhan mungkin tidak adil padaku awalnya, tetapi ia begitu menyayangiku sekarang.
BAB 3
Aku duduk di ranjang kamarku sembari menemani Sofia bermain. Aku begitu merindukannya seperti hari-hari sebelumnya. Rasanya berpisah selama 10 jam saja dengan putri cantikku ini serasa bagai setahun lamanya. Ia tersenyum manis padaku sembari memainkan Mr Teddy, si boneka beruang cokelat hadiah dari ibuku saat ulang tahun pertamanya sebulan yang lalu.
“Apakah kau senang hari ini sayang? Kau tidak merepotkan nenekmu bukan?,” ucapku pada Sofia. Ia menjawab pertanyaanku dengan memukul hidungku menggunakan tangan mungilnya. Aku pura-pura terbelalak kaget. “Jadi kau ingin menjadi anak yang nakal di depan mama?” Sofia tersenyum lagi dan membuat pipinya terlihat sangat menggemaskan.
Aku menarik Sofia untuk mendekat dan mencium pipinya berulang kali hingga Sofia tertawa riang karena merasa geli. Mungkin Sofia hanyalah bayi yang baru berusia 1 tahun, tapi ia sangat sensitif terhadap perubahan emosi di sekitarnya terutama emosiku. Saat aku bahagia, ia akan ikut bahagia dan selalu tersenyum, tetapi saat aku sedih ia akan menjadi rewel dan sering menangis meskipun di kesehariaannya Sofia bukanlah anak yang cengeng.
“Mama… mama…,” ucap Sofia dengan mulut kecilnya dan menampakkan beberapa gigi yang baru tumbuh. Sofia belum lancar berbicara, tetapi ia sudah dapat mengatakan beberapa kata seperti kata mama, nenek, ya, tidak, tidak mau, dan teddy. Ia juga mulai menirukan ucapanku dan ibu.
“Iya sayang, apa yang kau inginkan?” Sofia justru menarik Mr Teddy dari tanganku.
Pintu kamarku berderit terbuka. Aku menoleh dan melihat Cecil muncul dari balik pintu.
“Baru pulang, ha?”
“Aku sangat lelah, Lex.” Cecil berbaring di dekatku setelah sebelumnya mengecup kepala Sofia. “Hari ini rumah sakit sangat kacau.”
“Terjadi sesuatu?”
“Sebuah kecelakaan lalu lintas mengerikan antara bis sekolah dan sebuah taksi tak jauh dari rumah sakit. Sebagian besar korban adalah anak kecil yang menumpang bis sekolah. Ruang ICU penuh, semua dokter dan tenaga medis pembantu hilir mudik, jeritan anak kecil terdengar dimana-mana. Huh, membuat kepalaku pusing sekaligus ingin meledak. Kami telah mengerahkan semua dokter, tetapi kami tetap kekurangan orang.” Aku membayangkan apa yang diceritakan Cecil dalam kepalaku, dan bergidik saat mendapatkan gambarannya. Darah dimana-mana, bau obat yang menyengat, suara anak-anak yang kesakitan sungguh gambaran yang tidak menyenangkan.
“Apakah berakhir dengan baik?”
“Untungnya begitu. Kepala rumah sakit segera menghubungi rumah skait terdekat untuk meminta bantuan dan memindahkan sebagian korban. Aku berharap hal ini tidak pernah terjadi lagi.” Cecil menutup matanya. Ia bernafas panjang-panjang mencoba tengah mengendalikan perasaannya. Aku yakin ia belum merasa baik karena kejadian itu.
Aku berpikir sejenak dan memutuskan untuk mengurungkan niatku membicarakan masalahnya dengan Todd. Siang tadi aku berpikir akan mengajak Cecil berbicara tentang Todd setelah ia pulang bekerja, tapi melihat kondisinya saat ini sepertinya bukanlah waktu yang tepat untuk menyinggung mantan tunangannya yang brengsek itu.
“Kau ingin minum sesuatu, Cecil?”
“Tidak perlu, sayang. Mungkin aku hanya butuh tidur lebih awal saja.”
“Sepertinya memang begitu.”
“Oh ya aku sudah memeriksa jadwal dokter Flinch, seperti kataku tadi pagi dia meluangkan waktunya jam dua dan sudah mengonfirmasinya ke bagian resepsionis. Kau langsung datang saja besok.”
“Terima kasih, sayang.” Aku mengelus pundak Cecil. Ia bangkit dan menatap Sofia dengan senyum lebar.
“Saat ini aku butuh hiburan, Lex dan hiburan yang paling tepat adalah…” Cecil tidak melanjutkan ucapannya. Ia justru meraih tubuh mungil Sofia ke dalam pelukannya. Ia mendaratkan ciumannya yang bertubi-tubi ke seluruh bagian wajah Sofia, membuat gadis kecilku kegeliaan dan tertawa riang.
“Tidak mau… Tidak mau…,” ucap Sofia.
“Jadi kau tidak mau bermain denganku, cantik?” Cecil menatap kedua mata abu-abu Sofia. “Baiklah, kalau begitu sebagai hukumannya aku akan menggelitikumu.” Cecil menggelitiki Sofia hingga membuat Sofia bergerak kesana-kemari. Aku bergabung dengan kegembiraan mereka. Seketika itu juga raut lelah di wajah Cecil menghilang. Aku senang karena kehadiran Sofia tidak hanya membuatku bahagia, tetapi juga membuat orang lain seperti Cecil ikut bahagia.
Kami bertiga tertidur pulas dua jam kemudian setelah lelah bercanda tanpa mengganti baju terlebih dahulu. Bahkan saat bangun keesokan paginya, aku melihat Cecil masih mengenakan sepatunya saat tidur. Kami terlihat seperti keluarga kecil yang hidup bahagia meski dunia tidak mempedulikan kami.
~ ~ ~
Hari ini tidak banyak yang kukerjakan di butik. Aku melanjutkan pekerjaanku untuk menyelesaikan 3 gaun pesta yang telah menunggu, kemudian kuserahkan sisanya pada 4 asistenku. Tak berapa lama kemudian aku menemui Miss Bennet, menemaninya melakukan fitting gaun pengantinnya. Kami mengobrol sebentar untuk membahas bagaimana pendapatnya tentang gaun pengantin yang telah kubuat. Setelah ia mengatakan puas dengan hasilnya, ia pamit undur diri dan akan mengambil gaunnya senin depan setelah gaunnya di-finishing sekaligus sebagai fitting akhir.
Tepat pukul 1 siang aku keluar dari butik setelah sebelumnya berpamitan dengan Lucy dan mengucapkan salam akhir pekan pada rekan kerjaku yang lain. Aku memacu mobilku menuju rumah untuk menjemput ibu dan Sofia. Aku menghentikan mobilku tepat di depan pintu gerbang saat ibu berjalan keluar dari rumah bersama Sofia yang tertidur pulas di pelukannya. Ya ini adalah jam tidur siangnya yang tak bisa diganggu gugat.
Aku membukakan pintu untuk ibu dari dalam.
“Hai sayang, kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu?” Ibu menutup pintu perlahan agar tak membangunkan putri kecilku.
“Sudah mom, jangan khawatir aku mendapat ijin dari Lucy.” Aku mulai menjalankan mobilku menjauh dari rumah.
“Baguslah kalau begitu. Oh ya besok aku tidak bisa menemanimu jalan-jalan dengan Sofia.”
“Kenapa mom?”
“Aku harus menyiapkan kamar Ben dan Alexis, karena akhirnya ia memutuskan untuk pindah bersama Vivian dan Alexis.” Aku terkejut mendengar berita bagus ini.
“Apa ini beararti mereka akan menetap?”
“Tentu saja, sayang. Sepertinya Vivian telah menemukan sekolah yang bagus untuk Alexis tak jauh dari sini. Kau tahu rumah kita akan ramai dengan anak-anak.”
“Itu bagus mom, kau dan Sofia tidak akan kesepian lagi saat aku harus bekerja. Sofia juga akan memiliki teman bermain sekaligus kakak yang cantik.”
“Tentu saja.” Ibu dan aku tertawa bersama. Membayangkannya saja sudah sangat menyenangkan apalagi saat itu benar terjadi.
Kami terus mengobrol sambil tertawa sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Hal ini setidaknya sedikit mengalihkan kekhawatiranku tentang kunjungan ke rumah sakit. Aku sangat membenci rumah sakit. Suasana rumah sakit yang dipenuhi orang-orang yang terluka atau tertidur penuh penderitaan, bau obat yang menyengat, ruangan yang dipenuhi alat-alat entah apa jenisnya yang membuatku langsung begidik saat melihatnya. Rumah sakit menjadi salah bagian yang paling kutakuti dalam hidupku.
Sebelum memiliki Sofia aku tidak pernah mau masuk rumah sakit, walaupun hanya untuk mengunjungi saudara yang dirawat di sana. Saat sakitpun aku lebih memilih di rawat di rumah dan ibu akan memanggil dokter untuk memeriksaku. Tetapi sejak mengandung Sofia, mau tidak mau aku harus memaksa diriku pergi ke rumah sakit untuk mengecek kesehatanku dan Sofia.
Aku selalu meminta ibu untuk menemaniku, bukan karena aku malu datang ke dokter kandungan seorang diri tanpa suami. Ini lebih seperti aku butuh seseorang yang menenangkanku saat dokter mulai menggunakan peralatannya pada tubuhku. Setiap tiga bulan sekali aku harus memeriksakan Sofia untuk pemeriksaan secara menyeluruh. Meskipun aku membenci rumah sakit, tapi aku ingin anakku mendapatkan fasilitas kesehatan yang maksimal seperti pemeriksaan rutin untuk menghindari penyakit yang tak diinginkan dan mendeteksinya lebih awal.
Kami memasuki rumah sakit setelah memarkirkan mobil. Sofia telah bangun dari tidur siangnya dan mulai menggelayut di gendonganku. Sepertinya ia merasakan kekhawatiranku saat masuk tadi. Ia menarik-narik kemejaku, membuatku semakin tak tenang. Kami sampai di depan ruangan dokter Flinch, dan seorang perawat telah menunggu kami. Pukul 2 tepat, syukurlah kami tidak terlambat.
“Sofia Anastasia Robins atas nama Mrs Alexa Anastasia Robins?,” tanya perawat berseragam putih itu sembari melihat cacatan di clipboard-nya.
“Ya benar,” jawabku.
“Silakan masuk, dokter Flinch sudah menunggu.”
“Terima kasih.” Perawat itu membukakan pintu dan masuk ke dalam terlebih dahulu.
Aku menyerahkan Sofia pada ibu.
“Mari sayang.” Sofia menarik kemejaku sesaat sebelum sampai di pelukan ibu. “Oh tidak perlu takut, manis. Ini akan cepat berlalu.”
“Sofia sayang, ikutlah dengan nenek. Jangan menangis, dan jangan membuat susah dokter, oke?” Aku mengelus lembut pipi Sofia. Sofia mulai terlihat tenang. “Anak baik.”
“Kau yakin masih tidak mau masuk, sayang?”
“Tidak mom, aku tidak mau muntah atau yang lebih parah pingsan tiba-tiba.”
“Baiklah kalau begitu.”
“Aku akan menunggu di lobi.” Ibuku mengangguk tanda paham.
“Aku akan meneleponmu jika sudah selesai.” Ibu berjalan menuju ruang dokter Flinch. Aku menatap Sofia dan melambai padanya sesaat sebelum perawat menutup pintu.
Aku menghela nafas dan meyakinkan diri bahwa Sofia akan baik-baik saja. Ia bersama ibu, dan di tangan dokter yang telah merawatnya sejak ia lahir. Jadi aku tidak perlu khawatir. Aku berjalan menyusuri koridor kembali menuju lobi depan. Saat membelok aku mendengar seseorang memanggilku dari belakang.
“Alexa.” Di tengah kegelisahanku berada di rumah sakit, spontan kuhentikan langkahku dan menoleh ke belakang, ke arah sumber suara.
Di sana berdiri sorang pria berambut cokelat tembaga dengan mata abu-abu yang menatap tak percaya padaku. Tubuh tingginya yang menjulang terlihat begitu pas dengan tubuh atletis yang terbungkus jas putih dengan stetoskop yang menggantung di lehernya. Mataku seketika membulat lebar dan mulutku sedikit terbuka. Pria itu membuatku membeku di tempat. Ia tersenyum, sebuah senyum kecil yang membuatku tak bisa mengatakan apa-apa.
Oh Tuhan, mulutku secara tercekat, bibirku terasa pahit, dan jantungku seakan berhenti sesaat. Otakku bahkan tak bisa bekerja selama sepersekian detik, tak bisa mengirim respon apapun terhadap pemandangan di hadapanku. Aku seperti patung seorang gadis dengan wajah kagetnya yang menghalangi jalan di koridor itu. Aku bahkan tak bisa menggerakkan tanganku untuk menutup mulutku yang ternganga. Setiap orang yang lewat pasti bisa melihat wajah syokku yang pasti terlihat sangat bodoh.
Pria itu berjalan mendekatiku. Aku menjerit “,Jangan mendekat!” Kupikir suara itu keluar dari mulutku, rupanya suara itu berasal dari hatiku. Aku mulai merasa gelisah.
“Alexa, kaukah itu?,” ucap pria itu menyentak kesadaranku untuk kembali ke dunia nyata. Aku masih menatapnya lekat, dan segera menutup mulutku.
“Ya.” Hanya kata-kata itu yang bisa muncul dari mulutku. Pria itu menatapku balik dengan tatapan lembutnya. Jika aku gadis normal pasti saat ini juga aku sudah meleleh karena tatapannya, sayangnya aku dalam kondisi yang tidak normal. Pria itu tersenyum semakin lebar.
“Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini,” ucapnya dengan nada riang.
“Begitupun denganku.” Aku menelan ludahku sendiri. Aku mengutuk diriku yang sangat kaget karena bertemu dengannya secara tiba-tiba. Ayolah kemana pergi Alexa yang biasa, yang selalu ceria menyapa orang yang ia temui di jalan? Alexa yang selalu ramah dan bersemangat? Semuanya menguap dalam hitungan detik karena sosok di hadapanku ini, itulah jawabannya.
“Lama kita tidak berjumpa, bagaimana kabarmu?”
“Baik, sangat baik. Kau?”
“Aku juga sangat baik.”
Pria itu masih tersenyum. Ia berjalan semakin mendekatiku. Aku ingin berjalan mundur untuk memberi jarak, sesungguhnya berdiri terlalu dekat dengannya bukanlah ide yang bagus. Tetapi sayangnya kakiku tidak mau bergerak se-inchi-pun. Dia memegang kedua pundakku. Sentuhannya mengirimkan aliran yang sangat dahsyat langsung ke kulitku, seperti aliran listrik bertegangan tinggi. Hal itu membawa dampak semakin buruk dalam diriku. Aku semakin membeku, dan sekilas dapat kulihat tanganku agak bergetar dengan kulit yang telah memucat.
“Senang bisa bertemu lagi denganmu, Alexa.”
Semua terjadi begitu cepat, dalam hitungan detik ia menarikku dan menjatuhkan tubuhku dalam pelukannya. Aku semakin tidak berkutik. Aku hanya diam saat tubuhnya melingkar di tubuhku dengan begitu protektif. Aku dapat merasakan setiap bagian tubuhnya menempel di tubuhku membuatku terhipnotis. Aku bahkan mencium aroma tubuhnya yang khas, aroma jerami di musim panas dengan sedikit perpaduan aroma hutan pinus yang sangat kukenal.
Aroma itu begitu memabukkan bahkan setelah bertahun-tahun lamanya.
Ia melingkarkan kedua tangannya di punggungku, menyentuhku lembut seakan ia mengenal setiap bagian dari tubuhku. Aku memejamkan mataku sesaat, karena sensasi aneh yang menggelitik punggungku saat ia mengusapnya perlahan.
“Kenapa kau diam? Apa kau tidak mengingatku, Alexa?,” tanyanya. Aku masih dalam pelukannya. Aku membuka mataku, dan memaksa mulutku untuk mengeluarkan suara.
“Tentu saja aku mengingatmu, aku sangat mengingatmu, Adam,” ucapku getir.
“Syukurlah.”
Tiba-tiba aku merasa segala emosi bermunculan dalam hatiku, marah, sedih, dan takut mendesak untuk keluar bersamaan. Aku dapat merasakan pelupuk mataku telah terisi penuh air mata yang akan sulit untuk dibendung. Aku mengepalkan tanganku yang masih bergetar dan mendorong tubuh Adam untuk menjauh. Aku menatapnya dalam, sambil terus berusaha menahan air mataku.
Oh Tuhan, hancurkan saja aku saat ini. Aku benar-benar ingin melarikan diri darinya. Aku tidak ingin berhadapan dengan Adam dalam emosi seperti ini. Meskipun sejujurnya sosok Adamlah yang sering mengisi pikiranku dan membuatku menjadi gelisah. Terkutuklah aku hari ini.
to be continued....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar