Cast :
- Alexa Anastasia Robins
- Adam Miller
- Sofia Anastasi Robins as Alexa's daughter
- Cecilia Gratton as Alexa's bestfriend
- Mikael Holowitz as Cecil's friend
- Anastasia Kyle as Alexa's mother
- etc
Categories : Adult
Rate : +17
Shoot : One
before chapter...
Kupaksakan diriku untuk kembali membuka memori otakku yang selama 2 tahun ini tak pernah kusentuh. Meski ragu, perlahan aku mulai menceritakannya pada Cecil.
BAB 6
Dua tahun silam tepat tanggal 29 November, Ben merayakan ulang tahunnya yang ke-26. Pesta ini berbeda dibanding tahun-tahun sebelum. Biasanya kami merayakan ulang tahun dengan sebuah pesta kecil keluarga di rumah dengan mengundang beberapa teman dan keluarga dekat, tapi kali ini berbeda. Ben ingin merayakan ulang tahunnya bersama teman-temannya dan teman Vivian. Ya waktu itu Ben sudah menikah dengan Vivian, dan putri mereka Alexis sedang pergi liburan ke Kanada bersama orangtua Vivian.
Ben menyewa sebuah resort kecil tak jauh dari rumahnya. Resort itu sangat indah, dan langsung menyuguhkan pemandangan Sungai Hudson yang sangat mempesona. Teman-teman Ben yang datang sebagian besar adalah rekan kerja, dan kliennya sedangkan sebagian lagi adalah teman sekolahnya. Aku juga datang karena Vivian memaksaku, ia bilang jika aku tidak datang Ben akan marah besar.
Akupun merancanakan sebuah kejutan bersama Cecil. Awalnya kubilang pada Ben, aku tidak mau datang karena itu pesta orang dewasa sedangkan umurku baru 21 tahun sementara aku juga harus belajar untuk ujian semesterku. Aku tahu ia kecewa, tapi ini hanya sebuah alasan bukan. Beruntung Vivian dangat proaktif membantu terwujudnya kejutan ini.
Satu jam sebelum acara dimulai, aku dan Cecil sudah siap di salah satu kamar resort menunggu waktu pertunjukkan. Malam itu aku mengenakan baju terbaikku, sebuah light tweed skirt berwarna hitam dan halterneck top dengan aksen glitter yang menampilkan punggung polosku. Aku bahkan mengenakan black suede platform sandal dengan hak setinggi 10cm, yang membuatku terlihat semakin jenjang. Aku sengaja menata rambutku menyamping dengan bantuan Cecil. Dia bilang aku terlihat wow. Padahal ia sendiri terlihat lebih wow dengan ribbed off the shoulder dress berwarna hitam yang melekat pas di tubuhnya.
Aku tak yakin penampilan ini mengesankan. Justru aku yakin Ben akan protes pada penampilan seksiku malam ini. Matanya pasti akan melotot dengan aura mengancam, atau lebih parahnya ia akan meneriakiku untuk mengganti baju di tengah acara pesta. Oh aku tak bisa membayangkannya, tapi aku tidak sabar untuk memberinya kejutan.
Kemudian kudengar suara kembang api yang menyala dan menghiasi langit malam menjadi lebih berwarna dengan kilatan-kilatan cahanya yang indah. Ini tanda bahwa acara utama, yakni pemotongan kue akan segera dimulai sekaligus tanda bagi aksiku. Aku menatap Cecil penuh antusias.
“Kau siap?,” tanyaku padanya.
“Selalu sayang.”
“Ayo kita mulai.”
Kamipun berjalan turun dari lantai 2 resort itu. Kami berjalan menyusuri koridor menuju halaman belakang resort tempat dimana pesta Ben dilakukan. Di samping pintu lengkung yang langsung menjorok ke taman belakang, Vivian berdiri sembari berjalan mondar-mandir. Kulambaikan tanganku padanya, ia tersenyum padaku.
Vivian terlihat cantik mengenakan sebuah light silk chiffon gown berwarna azalea pink salah satu koleksi Gucci. Rambut panjangnya yang berwarna hitam legam ia biarkan terurai. Aku tak pernah melihatnya mengenakan gaun, jadi rasanya sangat menakjubkan melihatnya kali ini jauh dari setelan kerjanya yang formal atau jeans dan t-shirt-nya.
“Kau sudah siap Alexa?,” tanya Vivian terlihat sama antusiasnya denganku. Aku mengangguk meyakinkannya. Ia memberikan sebuah botol champagne padaku. “Semoga berhasil, cantik.” Ia menepuk pundakku sesaat.
“Terima kasih Vivian.”
“Ayo Cecil, kau harus membaur dengan tamu yang lain.” Vivian mengajak Cecil menuju taman.
“Good luck, sweetheart,” ucap Cecil sebelum hilang di balik pintu lengkung.
Aku mengintip keadaan di taman lewat jendela kaca dengan tirai yang tersambung ke pintu lengkung. Aku bisa melihat jika Vivian sudah ada di samping Ben. Posisiku membelakangi mereka, jadi Ben tidak akan melihatku. Acara pemotongan kue baru saja dilakukan dan deru tepuk tangan teman-teman Ben menjadi tanda bagiku untu mulai beraksi.
Aku melangkah keluar melalui pintu lengkung dan menyembunyikan champagne yang kubawa di balik punggungku. Aku bisa merasakan champagne dingin itu menyentuh kulit punggungku, dan sensasinya sedikit meredakan ketegangan yang kurasakan. Alunan musik jazz yang mengalun menjadikan suasana terasa lebih romantis. Aku berjalan menyelinap di antara para pelayan yang mulai keluar untuk memnyajikan makanan dan minuman. Ben sedang mengobrol dengan salah satu temannya saat aku telah berdiri tepat di belakangnya. Diam-diam dari balik bahunya Vivian tersenyum padaku untuk memberi kode.
Kuulurkan tangan kananku untuk menyentuh bahu kiri Ben. Ben langsung menoleh ke belakang dan menatapku dengan wajah kagetnya.
“Maaf aku terlambat,” ucapku dengan wajah tak berdosa. Ben mengerutkan keningnya tanpa menghilangkan ekspresi bahagianya melihat kedatanganku.
“Alexa, kau di sini? Kupikir…” Aku mengangkat tangan kananku untuk menyela ucapaannya.
“Tapi maaf Ben, kau melupakan champagne-mu.” Wajah Ben terlihat semakin bingung. Sebelum ia sempat berkata-kata lagi, aku telah mengeluarkan champagne yang kusembunyikan di punggungku. Kubuka tutupnya dengan cepat. Seketika itu juga semburan cairan berbuih berwarna putih langsung mengenai wajah pria jangkung itu bahkan mengenai hampir seluruh bagian depan kemeja dan jasnya.
“Selamat ulang tahun, kakak tertampanku,” ucapku dengan lantang saat seluruh champagne telah mendarat mulus di tubuh Ben. Aku dan Vivian tersenyum lebar ke arahnya.
“Alexa,” geram kakakku kemudian tersenyum ke arahku. Aku yakin ia tidak menyangka akan mendapat kejutan seperti ini. Teman-teman Ben yang melihat hasil aksiku ikut tersenyum. “Kau benar-benar gadis nakal, ha? Aku akan membalasmu nanti.” Aku berpura-pura menunjukkan ekspresi ketakutan.
“Benarkah?”
Ben merentangkan tangannya lebar-lebar.
“Kemarilah.”
Sembari tersenyum lebar aku berlari ke arah Ben dan memeluknya erat. Ia melingkarkan tangannya di tubuhku. Oh aku suka pelukan kakakku yang hangat, dan protektif ini. Aku juga bisa merasakan kecupan ringannya di kepalaku, kecupan penuh sayang yang selalu ia berikan saat aku merasa perlu kehangatan dan kasih sayang seorang kakak. Aroma champagne menguar di tubuhnya, bahkan membuat bajuku agak sedikit basah, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin memeluk kakakku untuk beberapa saat saja.
Ben mengangkat tubuhku dan menggoyangnya membuat mataku terbelalak. Oh Ben, ia masih saja melakukan kebiasaan kami bahkan di depan umum. Tubuh jangkungnya yang atletis, tentu dengan mudah mengangkat tubuhku.
“Ben turunkan aku,” ucapku protes karena orang-orang mulai memandang kami.
“Berjanji dulu untuk tidak mengulanginya.”
“Baiklah, baiklah kau menang. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi.” Ben menurunkan tubuhku dan kutinju perutnya, bukan tinju yang keras. Ia berpura-pura kesakitan. Kemudian ia merangkul pundakku.
“Kau membantunya kan, sayang?,” tanya Ben pada Vivian. Vivian hanya tersenyum lebar sambil mengangkat bahunya. Oh kakak iparku yang satu ini benar-benar bisa diandalkan, ia tetap menepati janji untuk tutup mulut tentang rencana ini. “Jadi tidak mau mengaku. Alexa haruskah kulemparkan tubuh mungilmu ke kolam renang?,” tanya Ben. Aku langsung menggeleng, itu bukan ide yang bagus.
“Oh tidak.”
“Kenapa tidak?”
“Kau gila? Kau ingin menjadikan adik kesayanganmu ini sebagai bahan lelucon teman-temanmu?” Ben mengerutkan dahinya tengah berpikir. “Oh ayolah, kau tidak mungkin membiarkanku keluar dari kolam renang dengan baju basah kuyup dan menjadikan itu sebagai tontonan lezat untuk teman-teman lelakimu kan? Kau ingin menjual tubuh adikmu ya?,” ucapku yang langsung telak membuat ekspresi Ben menjadi garang.
“Tidak akan pernah.” Ancaman seperti itu sangat jitu untuk Ben, karena ia terlalu sayang padaku sehingga tak rela jika sembarang lelaki menatapku.
Ben mengendurkan rangkulannya.
“Ayo, aku harus mengenalkanmu pada teman-temanku. Setelah pelukan tadi, aku yakin mereka mulai menerka-nerka tentangmu. Jangan sampai besok muncul gosip ‘Ben Mark Robins merayakan ulang tahun dan mendapat kejutan dari wanita simpanannya tepat di depan mata istrinya,’” ucapnya penuh dramatisir.
Ya Ben memang tidak pernah mengenalkaku pada teman-teman apalagi kliennya. Kebanyakan teman Ben adalah jenis lelaki dengan otak cerdas atau otak bisnis, dan itu bukan sesuatu yang menyerempet bidangku. Ia menuntunku ke sebuah meja bar yang telah dipenuhi segerombolan pria. Uh bukan pemandangan yang kusuka, apalagi bau alcohol dimana-mana.
Para pria menatap ke arah kedatanganku dan Ben.
“Wah pemilik acara telah datang,” ucap salah satu pria dengan setelan jas abu-abu. Aku menatap mereka dan beberapa di antara cukup familiar, karena mereka pernah datang ke rumah. Kupikir mereka teman-teman dekat Ben, teman yang paling dekat lebih tepat. Ada sekilar 7 pria di sana.
“Terima kasih karena kalian sudah datang.” Ben menjabat tangan mereka satu persatu, sebuah jabatan ala pria. Ia bahkan tak melepas tangannya dari pundakku. Aku tahu yang ia lakukan sekarang adalah melindungi punggungku yang terekspos karena baju kukenakan dari pandangan pria-pria di sini.
“Jadi siapa gadis cantik ini?,” tanya seorang pria dengan rambut licinnya yang tersenyum ke arahku. “Tentu bukan wanita idaman lain-mu kan Ben?” Ben tertawa.
“Kau gila, Josh. Dia adikku, adik kesayanganku. Kenalkan Alexa Anastasia Robins.”
Aku tersenyum lebar pada mereka.
“Hai, aku Alexa, senang berkenalan dengan kalian.” Mereka secara serempak mengacungkan tangannya padaku untuk mengajak berjabat tangan. Aku melongo melihat reaksi mereka. Aku menatap mereka dengan tidak percaya. Apakah mereka tipe pria yang menggoda segala jenis wanita? Halo, aku mahasiswa, masih kuliah, usiaku baru 21 tahun, bahkan mereka lebih pantas kupanggil kakak. Ada apa dengan para pria ini. Ben menyingkirkan tangan para pria itu dengan lengan kanannya.
“Jangan harap kalian bisa menyentuh adik cantikku dengan mudah,” ucapnya penuh ancaman.
“Oh Ben ayolah, kami hanya ingin berkenalan,” protes seorang pria dengan kulit wajah penuh bintik. Saat kuperhatikan ke-7 teman Ben adalah pria dengan tubuh bagus, tidak ada lemak, tidak ada perut buncit, apalagi bergelambir. Rata-rata dari mereka memiliki tubuh yang ideal dengan otot atletis, dan satu lagi tidak ada kaca mata. Ini lebih seperti perkumpulan para model dibanding perkumpulan teman bermain.
“Langkahi dulu mayatku Kev. Kau tak kan bisa menyentuhnya, walaupun hanya sehelai rambut.” Tiba-tiba Ben menutup dadaku dengan telapak tangannya yang lebar. “Hei Reid, apa yang kau lihat?” Aku baru sadar jika pria berkulit hitam yang duduk di samping pria yang bernama Josh sejak tadi memperhatikan dadaku.
“Maaf sobat, adikmu terlalu cantik. Jadi jangan salahkan mataku kalau ingin terus menatapnya.”
“Karena Alexa adikmu, jadi mereka adik kita juga Ben. Ingat itu Alexa.” Josh berbicara padaku. Melihat perubahan ekspresi mereka semua aku baru menyadari kalau apa yang mereka bicarakan tadi hanyalah sekadar gurauan apalagi saat kulihat beberapa diantara mereka telah mengenakan cicin kawin. Aku mengangguk pada Josh.
“Jangan sungkan untuk memanggil kami, jika kau butuh bodyguard atau seorang tukang pukul untuk meremukan wajah pria yang berani menyakitimu,” sambung Reid. “Asal kau tahu, kami pernah membuat seorang pria hidung belang yang menguntit adik Mark masuk rumah sakit selama sebulan.” Pria yang bernama Mark hanya mengangguk mengiyakan ucapan Reid. Ben tertawa menanggapi ucapan teman-temannya.
“Terima kasih, akan aku ingat itu.” Aku merasa harus segera pergi dari sini. Ini area pria dan tidak nyaman terlalu lama di sarang penyamun. “Ben sepertinya aku harus pergi,” ucapku berbisik di telinga kiri Ben. “Ini bukan areaku.”
“Tentu, Lex. Aku juga tidak begitu mempercayai ucapan mereka. Pria tetaplah pria, dan nafsulah yang mendominasi mereka.” Aku tertawa dan memukul dada Ben.
“Termasuk kau.”
Aku akan berpamitan pada pria-pria itu saat seseorang muncul. Seseorang dengan rambut cokelat tembaga, mata abu-abu, tubuh tinggi atletis mengenakan setelan hitam yang membuatnya terlihat seksi.
“Wah dokter kau datang terlambat,” ucap Mark. Pria itu tersenyum, senyum yang sangat manis dan aku sadar senyum itu telah mempengaruhiku. Ini bukan kali pertama aku bertemu dengannya. Ia sering datang ke rumah, karena dia salah satu teman baik Ben sejak SMP. Dialah Adam, Adam Miller seorang dokter yang baru menyelesaikan masa residensinya.
“Maaf aku terlambat.” Adam menghampiri Ben dan menjabat tangannya. “Selamat ulang tahun kawan.”
“Terima kasih Adam. Kau sudah meluangkan waktumu yang sangat padat untuk datang kemari, itu sebuah kehormatan besar bagiku dokter Miller.” Adam tersenyum lagi, dan lagi-lagi hatiku berdesir karenanya. Oh Tuhan, aku mengaguminya. Ia tidak hanya tampan dengan senyum menawan, tetapi ia juga cerdas, tipe ideal. Alexa, apa yang kau pikirkan?
Adam menatapku dengan mengerutkan kening.
“Alexa?,” tanyanya. Wah ia menyadari kehadiranku, itu membuatku sedikit melambung. Aku mengangguk.
“Hai Adam.”
“Lama tidak berjumpa, kau semakin besar rupanya.” Ya aku tidak melihatnya belakangan ini hampir 7 bulan lebih.
“Dia tumbuh dengan cepat Adam, dan itu membuatku kewalahan.”
“Karena banyak pria yang mendekatinya atau yang menggodanya?,” ucap Adam mengagetkanku. Ben memutar matanya.
“Keduanya.”
“Ehm, maaf semuanya aku harus permisi,” ucapku menyela.
“Kau tidak ingin minum dengan kami, Alexa?” Aku hanya menggeleng menanggapi ucapan Kevin.
“Tidak ada alcohol untukunya,” tegas Ben sembari menatapku tajam. Aku mengerti sepenuhnya maksud ucapannya itu. Itu bukan ancaman yang hanya bersifat menggertak.
“Sampai jumpa semuanya.”
Aku tersenyum kemudian beranjak meninggalkan para pria itu. Aku berhenti sesaat kemudian menoleh ke belakang. Saat itu mataku bertemu dengan mata Adam yang mantap lembut padaku. Bukan tatapan ke punggung atau tubuhku yang lain, tapi tepat ke mataku. Sorot mata itu begitu lembut, dan mengirimkan sentuhan menggetarkan tepat ke hatiku. Ia tersenyum sesaat sebelum aku mengalihkan pandanganku. Ya Tuhan, kakiku serasa terbuat dari jeli yang sangat lemas. Namun aku tetap bertahan dan meninggalkan bar dengan seanggun mungkin.
to be continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar